ADA ANGGAPAN bahwa orang Batak cenderung materialistis atau menjadikan materi sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan. Sebagaimana dikatakan dalam syair lagu ciptaan komponis Nahum Situmorang, selain hagabeon (memiliki banyak turunan) dan hasangapon (sangat dihormati), hamoraon (memiliki banyak harta) adalah cita-cita, falsafah atau orientasi hidup masyarakat Batak.
.
1. HAMORAON DALAM PANDANGAN TRADISIONAL BATAK
.
Mungkin kita dapat setuju bahwa pada dasarnya memang orang Batak sangat menjunjung tinggi kekayaan (hamoraon). Kekayaan dipandang sebagai kebajikan sementara kemiskinan dianggap sebagai nasib malang. Kaya (mamora) berarti memiliki banyak harta (godang arta). Pada jaman dahulu harta terdiri dari: sawah, ternak, rumah dan emas. Begitu banyak perumpamaan yang memuji nilai kekayaan ini:
.
Simbora gukguk, sai mamora ma hita luhut! Tangkas ma jabu suhat tangkasan ma jabu bona.
.
Tangkas ma hita maduma tangkasan ma hita mamora. Tubu dingin-dingin di tonga-tonga ni huta. Saur ma hita madingin tumangkas hita mamora.
.
Tonggi ma sibahut tabo ma pora-pora. Gabe ma hita huhut jala sude hita mamora.
.
Tubu ma tandiang di topi aek sibara-bara. Sai gok ma jolma di ginjang , gok ma pinahan di taumbara.
.
Tinaba hau sampinur di tombak simarhora-hora. Sai lam matorop ma hamu maribur lam marsangap jala mamora.
.
Andor ras andor ris andor ni simamora. Sai horas ma hita jala torhis sai rap gabe jala mamora.
.
Banyak tindakan kebajikan dilakukan orang Batak bukan semata-mata demi kebajikan itu sendiri namun dengan tujuan agar memperoleh kekayaan. Misalnya penghormatan kepada hula-hula dilakukan juga dalam rangka mendapatkan berkat kekayaan. Demikian pula pengormatan kepada orangtua yang telah meninggal dunia.
.
Nidurung situma laos dapot pora-pora. Molo buas iba tu hula-hula na pogos hian iba gabe mamora.
.
Dolok ni Lumban Julu hatubuan ni simarhora-hora. Nunga dipanangkok hamu saring-saring ni angka ompunta i ba sai gabe ma hamu jala mamora.
.
Kultur Batak pra-Kristen memang tidak terlalu mempersolkan sumber atau asal-usul kekayaan. Kekayaan bisa diperoleh karena kerja keras, warisan, menang berjudi, jarahan perang, tebusan gadai, “tangko raja” (pencurian yang luhur?) dan lain-lain. Molo malo iba na tinangko gabe na jumpang, molo oto iba na jumpang gabe na tinangko!
.
Namun kultur Batak juga menuntut sikap khusus dari orang kaya, yaitu kemurahan hati (marasi roha) atau kedermawanan. Orang kaya sejati digambarkan sebagai orang yang tikarnya tidak pernah digulung (karena selalu menerima tamu), bakul nasinya besar, dan talenan-nya tipis atau ringan karena selalu dipergunakan. Paramak so balunon, parsangkalan na neang, parbahul-bahul na bolon.
.
Begitu pentingnya kekayaan (hamoraaon) ini, bahkan menjadi tujuan hidup sehingga demi memperoleh kekayaan, banyak orang Batak-Kristen mengabaikan prosedur atau cara memperolehnya, atau cenderung menghalalkan segala cara. Orang kaya mendapat tempat terhormat, juga di kampung milik hula-hulanya. Sebagaimana disiratkan dalam umpama berikut: Ai hotang rasras do hotang singgoran bahen pangarahut ni ruma. Dos do raja dohot na mora marorot di bagasan huta. Semangat merantau atau meninggalkan Tanah Batak ke ke daerah-daerah lain juga sebagian besar juga merupakan cita-cita untuk kaya. Kemajuan diidentikkan dengan kekayaan. Kekayaan merupakan satu-satunya tanda sukses di perantauan.
.
Dalam kultur Batak pra-Kristen hamoraon (kekayaan) bukan saja menentukan status sosial seseorang namun dianggap sebagai suatu salah satu tanda yang absolut bahwa seseorang mendapat berkat. Karena itu kemiskinan dianggap sebagai bencana atau kutuk. Itulah juga yang menyebabkan kultur Batak pra-Kristen menganggap kekayaan begitu penting dan mulia, sebab itu sering diupayakan dengan segala cara.
.
Nilai hamoraon ini mempengaruhi peran sosial dan perilaku orang Batak sehari-hari. Banyaknya pemuda Batak yang memilih jurusan studi yang “basah” (cepat menghasilkan uang berlimpah) dan sedikitnya yang memilih jurusan studi yang “kering” (sulit menghasilkan uang berlimpah) haruslah dilihat dalam kerangka filsafat hidup ini. Begitu pula jenis-jenis profesi yang sangat diminati orang Batak (hukum, ekonomi, teknik) sebagian harus dilihat dalam konteks “keinginan menjadi kaya” (mamora). Satu hal yang sangat memprihatinkan orang Batak, karena ingin cepat kaya dan dapat untung, juga sangat banyak yang berprofesi sebagai rentenir, pedagang VCD porno, penjual togel.
.
2. HAMORAON DALAM PERSPEKTIF MODEREN
.
Komunitas Batak sekarang hidup dalam era moderen. Agar dapat survive di tengah masyarakat moderen maka komunitas Batak juga harus mengakomodir nilai-nilai modern termasuk tentang kekayaan. Bagaimana pandangan modernitas tentang nilai kekayaan?
.
Bagi masyarakat moderen dan demokratis, kekayaan diterima sebagai ganjaran yang wajar dan semestinya dari kerja keras, ketekunan, prestasi, kinerja dan talenta (bakat khusus) yang dikembangkan. Namun masyarakat moderen menolak kekayaan yang diperoleh dengan cara melawan hukum (korupsi, kolusi).
.
Kita harus menolak pemahaman yang memisahkan kekayaan dari hukum, moralitas dan hati nurani. Kekayaan dianggap baik dan mulia karena diperoleh dan digunakan berdasar kepada hukum dan moralitas serta mengindahkan hati nurani. Sebaiknya kekayaan yang diperoleh atau digunakan tidak berdasar hukum, moralitas dan hati nurani harus dianggap rendah dan memalukan.
.
Namun dalam masyarakat moderen kekayaan mesti diimbangi juga dengan ketaatan membayar pajak dan kedermawanan (semangat filantropi). Semain kaya seseorang ia harus makin jujur dan taat membayar pajak dan memberikan bantuan sosial. Itulah sebabnya di luar negeri orang-orang kaya menggunakan kekayaannya mendirikan yayasan sosial guna membagi-bagikan kekayaan itu kepada masyarakat (baca: sama sekali bukan untuk mendapatkan keuntungan!).
.
Selanjutnya bagi masyarakat moderen bentuk kekayaan bukan lagi hanya sawah, ternak atau emas, namun meluas. Pengetahuan, informasi, jaringan, bakat dan keahlian khusus, dan bahkan kesehatan juga dianggap sebagai asset atau kekayaan, bahkan yang terpenting.
.
3. HAMORAON DALAM PERSPEKTIF KRISTEN
.
Ada 4(empat) pertanyaan yang senantiasa harus diajukan sehubungan dengan kekayaan:
.
(1) Asal-usul. Dari manakah kekayaan itu berasal atau bersumber? Kekristenan menolak kekayaan yang diperoleh dengan cara korupsi atau mencuri. Hukum ke-8 berbunyi “Jangan mencuri!”. (baca: Jangan korupsi!). Bagi kekristenan bukan hanya tujuan menjadi kaya yang penting, tetapi terutama bagaimana cara menjadi kaya. Cara yang benar menjadikan tujuan benar. Cara yang salah membuat tujuan jadi salah.
.
(2) Pengelolaan. Bagaimana kita mengelola kekayaan itu? Kekayaan di tangan orang jahat akan cenderung digunakan untuk melakukan kejahatan. Sebaliknya di tangan orang baik, kekayaan akan digunakan untuk melakukan kebaikan juga. Hanya orang yang menjadi hamba Tuhanlah yang dapat menjadikan kekayaan sebagai hamba atau alat kebenaran dan kasih. Sebaliknya: orang yang menjadi hamba dosa, akan tidak dapat merajai kekayaannya namun malah menjadikan kekayaan sebagai majikan atau tuannya. Karena itulah Alkitab mengatakan “cinta uang akar segala kejahatan” (I Tim 6:10)
.
(3) Dampak. Apakah dampak kekayaan itu kepada orang yang bersangkutan? Ada kekayaan yang berdampak baik namun ada juga yang berakibat buruk. Sebagian orang setelah kaya semakin mendekat kepada Tuhan, namun sebagian lagi justru menjadi menjauh. Memang kekristenan menolak kekayaan dijadikan ukuran atau parameter menilai kemanusiaan seseorang. Kaya-miskin pada hakikatnya kemanusiaan seseorang sama di hadapan Tuhan. Begitu juga Tuhan menghendaki perubahan pemilikan harta atau kaya-miskin tidak mempengaruhi hubungan kita dengan Tuhan dan dengan juga orang yang kita cintai-mencintai kita.
.
Adalah wajar dan sah jika kita ingin hidup sejahtera dan berkecukupan. Tuhan juga menjanjikan hidup berkelimpahan kepada orang percaya (Yoh 10:10, Maz 23:5-6, II Kor 9:8). Namun kita dipesan agar kita melakukan kebajikan dan kasih demi kebajikan dan kasih itu sendiri, bukan karena pamrih.
.
(4) Tujuan atau motivasi. Apakah tujuan seseorang meraih kekayaan? Alkitab menolak kekayaan sebagai tujuan akhir (ultimate goal) dalam hidup. Tujuan akhir dalam hidup adalah memuliakan Tuhan dan mengasihi sesama. Kekayaan tidak abadi, sebab itu tidak dapat dijadikan tujuan pertama dan terakhir dalam hidup ini. Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaranNya maka semua itu akan ditambahkan kepadamu (Mat 6:34). Langit bumi akan berlalu namun Firman Allah tetap (I Pet 1:24-25). Namun uang itu dapat digunakan untuk berbuat kebajikan di dunia ini (Luk 16:1-9). Bahkan Alkitab menjadikan uang sebagai alat untuk menguji kesetiaan iman. Barangsiapa dapat dipercaya soal uang, dapat dipercaya juga soal iman. (Luk 16:10). Sebaliknya siapa korup soal uang akan korup juga soal iman!
.
Kekristenan memahami kekayaan (yang diperoleh secara benar) sebagai berkat Tuhan sekaligus sebagai godaan. Kekayaan tidak otomatis sebagai berkat. Sama seperti kemiskinan dibalik kekayaan juga ada godaan dan resiko. (Amsal 30:1-7)
.
Kritik kita kepada “teologi kemakmuran” adalah karena menjadikan kekayaan sebagai satu-satunya tanda atau bukti utama berkat Tuhan. Itu artinya: semua orang kaya otomatis orang yang diberkati oleh Tuhan. (walaupun kaya karena mencuri, korupsi dan kolusi) Sebaliknya semua orang miskin pastilah tidak diberkati oleh Tuhan (walaupun miskin karena jujur, adil dan benar). Padahal Tuhan justru memberkati orang jujur, adil dan benar (walaupun struktur dan sistem politik-ekonomi yang tidak adil sering menjadikan mereka miskin.
.
Sumber :
Pdt. Daniel TA Harahap, MA
Home: http://rumametmet.com
Kamis, 24 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Google Search Engine
Tidak ada komentar:
Posting Komentar