·

Sabtu, 23 Februari 2008

HKBP Maranatha Medan Gelar Ibadah Syukur, Malam Nada dan Dana

HKBP Maranatha Medan :
.
Gelar Ibadah Syukur, Malam Nada dan Dana
.
HKBP Maranatha Resort Maranatha Medan menggelar ibadah syukur dirangkaikan dengan malam nada dan dana. Acara yang merupakan wujud rasa syukur atas berkat Tuhan, diadakan Minggu 13 Januari 2008 di Grya Dome Medan.
.
Acara berlangsung penuh sukacita dan berakhir dengan sukses. Tampak hadir Sekjen HKBP Pdt. WTP Simarmata, MA dan Praeses Distrik Medan-Aceh Pdt. Midian KH Sirait, MTh.
.
Pendeta Resort HKBP Maranatha Pdt Halomoan Marpaung STh menyatakan gereja tersebut diresmikan 15 Februari 1976 dan akan memasuki usia yang ke-32 tahun pada Februari 2008 ini. Dikatakannya sejak awal 2007 lalu, sekitar 370 keluarga jemaat bersatu hati mengadakan pembenahan fisik gereja, pembangunan rumah dinas pendeta, dan memperbaiki rumah dinas bibelvrow serta pembangunan rohani jemaat.
.
Ibadah syukur serta malam nada dan dana mendapat respon dari jemaat dan undangan. Mereka menaruh hati dan pikirannya untuk pembangunan, sehingga acara berlangsung sukses. Tidak ketinggalan juga undangan menaruh perhatian atas pembangunan HKBP Maranatha yaitu AKBP Dra. Roslinda Sianturi, MM. Dia menyanyikan lagu "Poda ni Dainang" dan lagu Mandarin yang berhasil mengumpulkan dana Rp 29,9 juta.
.
Roslinda perwira polisi yang aktif di Sampali Medan, menerima buah kasih berupa ulos Batak yang langsung diuloskan oleh Sekjen HKBP Pdt WTP Simarmata MA dan Praeses.
.
Juga tampak menerima ulos Dr. Januari Siregar, SH, MH, Sobo Simangunsong, H. Marpaung, SH, dr. Simon Marpaung, B. Tarigan (GBKP), Juara Pangaribuan, Gongga Marpaung, SH dan, Victor Silaen.
.
Donatur yang berhalangan hadir juga memberikan bantuan dana. Panitia Mamaeakkon Batu Ojahan (MBO) S. Nainggolan tetap bergandengan dengan panitia malam nada dan dana yang diketuai HD Pasaribu.
.
Pembangunan yang hampir rampung tersebut direncanakan akan ditahbiskan Ephorus HKBP sekaligus dengan ibadah peletakan batu alas pada HUT ke-22 HKBP Maranatha Februari 2008 ini.
.
Grup penyanyi yang terlihat meramaikan acara antara lain Natama Trio dan Palambas Grup. Juga vokal solo, seperti Victor Pardede, AKBP Roslinda Sianturi MM, Januari Siregar, H.D. Pasaribu, serta penyanyi cilik Winda Siregar, Rince Simanjuntak (TVRI) Medan dan Pdt. Halomoan Marpaung, STh.

Kepedulian Jemaat HKBP Singapura Mengunjungi Bona Pasogit

HKBP Singapura :
.
Kepedulian Jemaat Mengunjungi Bona Pasogit
.
Jemaat gereja HKBP Singapura kembali mengunjungi Kabupaten Humbang Hasundutan. Kunjungan dilakukan Jumat 18 Januari 2008 lalu, merupakan yang ketiga kali. Mereka melihat secara langsung siswa-siswi yang telah menerima bantuan.
.
Menurut rencana bantuan akan disalurkan kembali April 2008 mendatang, sekaligus penambahan penerima beasiswa. Demikian dikatakan Pdt. Dr. Martonga Sitinjak (spiritual leader HKBP Singapura) didampingi St. R. Samosir, MBA, LLM.
.
Sebelumnya utusan jemaat HKBP Singapura menemui Bupati Humbahas Drs Maddin Sihombing, MSi. Mereka menyampaikan tujuan, sekaligus minta dukungan dan saran. Bupati menyampaikan ucapan terimakasih atas partisipasi membantu anak-anak sekolah yang mayoritas ekonominya lemah.
.
Bantuan yang diberikan bertujuan untuk memajukan Tapanuli lewat konsep pendidikan maju dan berkembang. Sejak enam bulan lalu telah membantu biaya pendidikan 30 anak SMP di Kabupaten Humbang Hasundutan. Penerima beasiswa diseleksi langsung melalui camat di lingkungan masing-masing.
.
Untuk lebih memotivasi, pada bulan Desember 2008 nanti, sebanyak 10 orang di antara penerima beasiswa akan dibawa ke Singapura. Tujuannya untuk melakukan orientasi, sebagai bahan perbandingan. Agar anak sekolah dari Tapanuli kelak dapat bersaing di kancah internasional.
.
St. R. Samosir menjelaskan, pemberian bantuan semata-mata karena kecintaan dan mempraktekkan kasih sayang kepada seluruh umat Kristen. Selain itu dia mengaku walaupun dirinya warga Singapura, tetapi darah dan kecintaan kepada Batak masih melekat dan tidak mungkin terlupakan.
.
Martonga Sitinjak mengungkapkan, gereja menyadari bahwa pendidikan yang layak bukan hanya milik yang kaya. Tetapi juga ekonomi lemah perlu diberikan dukungan nyata, agar dapat mengejar ketinggalan. "Orang Kristen Batak di Singapura mendoakan agar Bona Pasogit terus terbantgun dalam kasih Tuhan. Untuk diajak supaya anak sekolah bergaul dengan firman Tuhan, "tambahnya.
.
Sumber : Dalihan na Tolu

Jumat, 15 Februari 2008

Setelah "Tempo " Terbit

Setelah Tempo edisi 4-10 Februari 2008 terbit, yang memuat gambar Soeharto dan anak-anaknya mirip adegan The Last Supper, majalah dengan slogan "Enak Dibaca dan Perlu" itu kontan menuai reaksi.
.
Perwakilan organisasi Katolik, bukan hirarki gereja, mendatangi majalah yang berkantor di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat itu. Mereka bukan memrotes, tapi meminta penjelasan. Apa motivasi di balik kerja bareng awak majalah yang telah berkali-kali mendapat peringatan, bahkan pernah dibredel itu?
.
Sampul depan Tempo yang menghebohkan itu mirip lukisan The Last Supper atau Jamuan Makan Malam Terakhir karya Leonardo da Vinci, yang melukiskan Yesus berada di tengah meja makan, dikelilingi murid-murid-Nya. Pada saat itulah, Yesus memberikan wejangan terakhir kepada para murid, bahwa kelak, setelah Ia pergi dari dunia ini, mereka harus saling menyinta dan tolong-menolong. Wasiat Yesus pada last supper itulah yang kemudian melahirkan hukum tertinggi bagi orang Kristen: cinta kasih. Slogan Tempo sendiri sebenarnya bagus. Jika saja menjadi napas, dan semangat corporate culture setiap insan yang bekerja di sana, betapa indahnya. Sebab, itulah yang dikehendaki dari setiap media dan jurnalis. Seperti diperingatkan Horatius, pujangga Romawi kuno, bahwa setiap penulis adalah guru moral. Dan media, termasuk media cetak, akhirnya bermuara hanya pada dua ihwal: dulce (indah) dan utile (berguna). Persis slogan Tempo, "Enak Dibaca dan Perlu".
.
Sayangnya, ketika sidang menentukan akan seperti apakah sampul edisi 4-10 Februari, Tempo telah khilaf pada aspek utile (perlu). Pertimbangan pasar agaknya lebih dikedepankan. Hal ini terbukti dari pernyataan mewakili lembaga, bahwa "...Kami minta maaf, namun tidak akan menarik majalah edisi the last supper dari peredaran."
.
Terus terang, Tempo memang enak dibaca. Gaya jurnalismenya yang sastrawi, sering saya pakai sebagai contoh di ruang kuliah. Tulisan ini tak hendak memihak atau menghakimi salah satu pihak. Sekadar memaparkan persoalan, bahwa dalam kerja jurnalistik, ada yang disebut sense of audience, atau nalar khalayak, yang perlu diperhatikan seorang jurnalis. Seorang wartawan boleh pintar dan ini baik. Namun, seorang yang pintar namun tidak bermoral, akan menjadi perusak yang hebat.
.
Ada apa dengan awak Tempo, sehingga dalam edisi The Last Supper alpa mempertimbangkan nalar khalayak? Barangkali pertimbangannya hanya parodi. Barangkali pertimbangannya untuk mendongkrak oplah. Dan sejumlah "barangkali" yang lain. Hanya awak Tempo yang mafhum semua pertimbangan itu!
.
Pengujung tahun 1970-an, ketika waktu itu Tempo satu-satunya majalah berita mingguan terdepan di negeri ini, para wartawan bidang agama telah mencetuskan "10 Pedoman Penulisan Bidang Agama".
.
Pedoman butir 3 "Wartawan menyadari dalam menyajikan tulisan, berita, ulasan dalam bidang agama harus memiliki nalar khalayak (sense of audience) yang tepat, agar mengetahui betul lapisan masyarakat mana yang menjadi sasaran tulisan."
.
Sedangkan butir 4 menyatakan, "Wartawan menyadari bahwa mempersoalkan masalah yang menyangkut khilafiyah, yaitu masalah-masalah yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat di bidang agama dapat mengganggu kerukunan intern umat beragama, karena itu harus dijauhi dalam tulisannya."
.
Kita tidak tahu persis, apakah awak Tempo yang urun rembuk menentukan sampul The Last Supper sudah lahir tahun 1970-an? Ataukah mereka sama sekali tidak pernah dibekali pengetahuan tentang kesepuluh pedoman itu? Jika tidak, dan mereka bukan lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi yang sudah kuliah etika dan filsafat Ilmu Komunikasi, maka kurikulum pelatihan wartawan pemula hendaknya memasukkan etika dan Kode Etik Jurnalistik. Khusus untuk wartawan bidang agama, diberikan lebih mendalam mengenai psychographics and demographic proximity yang wajib memperhatikan check ability serta 10 Pedoman Penulisan bidang Agama. Jika ini dilakukan, niscaya dalam menjalankan kerja jurnalistik, wartawan tidak akan terjerembab melakukan kesalahan fatal yang menyangkut agama. Wartawan akan terasah dan senantiasa bekerja dibimbing sense of audience!
.
Atas Nama Seni
.
Persoalannya kemudian ialah, apakah bisa seni dijadikan alasan modifikasi mahakarya seni The Last Supper? Bisakah lukisan Leonardo da Vinci, berdiri sendiri, semata-mata benda profan?
.
Tidak! Di sini tidak bisa dipisahkan antara isi (objek lukisan/pesan) dan media (lukisan, cat, dan kanvas). Memang lukisan itu karya tangan manusia, namun ia adalah simbol kesakralan bagi umat Kristen. Objeknya yang sakral, lalu disandingkan dengan ihwal yang profan. Di sinilah sentimentalitas keagamaan itu muncul!
.
Di situ pula parodi itu terjadi, seperti diakui Tempo, dan mereka menganggapnya tidak apa-apa. Padahal, mustahil antara lukisan sebagai karya seni berdiri sendiri, lepas dari objeknya.
.
Kedalaman makna karya Da Vinci inilah yang mungkin tidak dipahami. Padahal, bagi orang Kristen, jamuan makan malam terakhir sangat dalam maknanya. Seperti diperingati dan diperagakan pada tiap malam Kamis Putih dalam upacara pembasuhan kaki, pesan penting The Last Supper adalah, supaya tiap orang saling melayani. "Yang besar di antara kamu ialah dia yang menjadi pelayan", demikian pesan terakhir Yesus, sebelum Ia pergi.
.
Sungguh dalam hikmah di balik pesan terakhir itu! Pelayan adalah orang besar. Akal manusia tidak dapat menyelaminya dengan mudah. Tapi, jika ditelisik, benar kata-kata itu. Ambil contoh dalam dunia olahraga dan bisnis. Bukankah orang yang paling banyak melayani, dialah yang menang? Bulutangkis, misalnya, pemain yang banyak melakukan servis (melayani), dia menang. Demikian pula dalam bisnis. Yang berhasil memuaskan pelanggan, dia akan menerima imbalannya.
.
Kini, banyak pesan terakhir pada The Last Supper itu diadaptasi di dunia bisnis dan kepemimpinan. Beredar banyak buku tentang pemimpin yang melayani atau perusahaan yang melayani (pelanggan). Itulah sebabnya, pesan terakhir Yesus kepada para murid lalu dianggap wasiat oleh orang Kristen. Dan lazimnya setiap wasiat, ia akan terus terngiang. Karenanya, dianggap keramat, dan hanya patut diucap dan dibicarakan penuh khidmat, sambil merunduk hormat.
.
Maka melihat sampul Tempo, kita jadi mengerti, mengapa hati sebagian orang jadi miris. Masak iya, Yesus disamakan dengan Soeharto? Emangnya, junjungan kami hanya didudukkan sama rendah dengan manusia biasa? Inilah yang menusuk hati sebagian orang Kristen, sehingga mereka melakukan dialog dan menanyakan duduk perkaranya ke Tempo.
.
Itu pula yang mendorong sejumlah orang Kristen (bukan hirarki gereja), yakni perwakilan dari Forum Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI, Forum Masyarakat Katolik Indonesia, Solidaritas Masyarakat Katolik RI, Perhimpunan Mahasiswa Katolik, Pemuda Katolik, Tim Pembela Kebebasan Beragama, dan Wanita Katolik RI datang ke kantor dan berdialog dengan Tempo. Mereka menanyakan dan ingin mendapat klarifikasi, mengapa Tempo berbuat demikian?
.
Dalam dialog, pimpinan Tempo telah meminta maaf dan mengatakan, pemuatan gambar itu tidak hendak menyinggung siapa pun. Maksud memang tidak menyinggung, tapi faktanya, ada yang tersinggung. Di sini kita masuk pada debat filsafat etika, maksud yang baik harus ditunjukkan dengan cara-cara dan hasil yang baik pula.
.
Senada dengan ini, misalnya, bisakah kita mengatakan waktu hendak mencemplungkan orang ke dasar laut, "Maksud saya kamu tidak mati, hanya bercanda biar Anda bermain-main dengan ombak!" Nyatanya, orang yang kita cemplungkan itu merasa takut dan sakit, dan perlahan-lahan, hingga akhirnya, mati lemas.
.
Setelah edisi The Last Supper terbit, cukupkah Tempo hanya meminta maaf? Selama hampir dua jam perwakilan umat Katolik yang mendatangi kantor Tempo, berdialog dengan jajaran pimpinannya. Dari Tempo, hadir Pemimpin Redaksi Toriq Hadad, Redaktur Eksekutif Wahyu Muryadi, Redaktur Senior Fikri Jufri, dan awak redaksi lainnya. Kedua pihak, yang merugikan dan merasa dirugikan, berdialog.
.
Yang menarik, "Kami hanya mengambil inspirasi dari sebuah gambar yang dilukis Leonardo Da Vinci... Perbedaan tafsir ini kami hormati dan saya sebagai pemimpin Majalah Tempo mohon maaf apabila gambar ini dianggap menistakan umat Kristiani," ujar Toriq Hadad.
.
Agaknya, Tempo tahu betul "kelemahan" orang Kristen dan cerdik memanfaatkannya. No violent, bahkan memaafkan.
.
Tapi, bagaimanapun ini preseden! Jika nanti ada media yang berbuat hal yang sama, cukuplah seperti yang Tempo lakukan. Minta maaf dan persoalan selesai. Tinggal mengatakan, "Kita beda tafsir!"
.
Sumber:
R Masri Sareb Putra
Penulis adalah mantan wartawan, kini dosen mata kuliah Teknik Menulis Berita dan Feature dan Etika Jurnalistik, tinggal di Jakarta
Harian Suara Pembaruan, Jum'at, 15 Februari 2008

Kamis, 07 Februari 2008

Poso-poso

KELAHIRAN ANAK adalah suatu even yang sangat ditunggu-tunggu suatu keluarga. Apalagi bagi komunitas Batak yang menganggap kesuburan (hagabeon) cenderung sebagai nilai tertinggi dalam hidup, tentu saja kelahiran anak adalah peristiwa yang luar biasa membanggakan dan membahagiakan. Itulah sebabnya jaman dahulu di Tanah Batak bila suatu anak lahir (dahulu tentunya di rumah sendiri dengan bantuan bidan atau sibaso, bukan di RS) maka ayah si anak akan segera membelah kayu secara demonstratif, walaupun tengah malam, di depan rumahnya dengan menimbulkan suara keras. Jendela rumah pun dibuka lebar-lebar dan asap pun membubung dari perapian dapur. Inilah suatu tanda kepada segenap penghuni kampung telah terjadi kelahiran atau kehidupan baru.
.
1. MANGALLANG HAROAN atau MANGALLANG ESEK-ESEK
.
Keluarga yang mendapat anak pun secara spontan segera memotong ayam dan memasak nasi kemudian mengetok pintu rumah para tetangga sekaligus kerabat walau tengah malam atau dinihari mengundang makan. Ibu-ibu se kampung pun spontan berdatangan bersama anak-anak. Inilah yang dinamakan mangallang haroan atau mangharoani (menikmati makanan kedatangan). Di daerah Silindung disebut mangallang indahan esek-esek. Jamuan ini bersifat sangat spontan dan seadanya. Jika tidak ada ayam di kandang maka sayur labu siam dan ikan asin pun jadi. Sebab itu mangharoani benar-benar suatu pesta ungkapan sukacita yang spontan dan tulus dari suatu komunitas yang saling mengasihi atas kehidupan baru. Sementara itu di luar selama tiga malam para bapak mandungoi (bergadang) atau “melek-melekan” sambil bercengkerama dan “berjudi” sesamanya untuk menjaga si bayi dan ibunya dari kemungkinan ancaman kepada si bayi dan ibunya. Beberapa hari kemudian orangtua si perempuan (ompung bao) pun dan kerabat yang lain datang membawa aek ni unte (harafiah air asam) yaitu sejenis makanan sayuran bangun-bangun yang diberi asam dan disantan dengan campuran daging ayam untuk memulihkan raga ibu si anak dan menderaskan ASI. Selain jamuan spontan mangharoani, di Toba dikenal juga tradisi mangambit atau marambit (harafiah: menggendong), jamuan resmi yang diadakan keluarga untuk menyambut kelahiran si bayi dengan memotong babi. Pada kesempatan inilah keluarga dapat menyampaikan permohonan kepada ompungbao (ompung dari pihak perempuan) agar menghadiahkan sepetak tanah yang disebut sebagai indahan arian (makan siang) kepada cucunya atau seekor kerbau/ lembu yang disebut batu ni ansimun (biji ketimun, yang dapat berkembang-biak). Namun berhubung tanah yang dapat dibagi-bagikan semakin lama semakin sempit, maka tradisi mangambit ini berangsur hilang.
.
2. MANUTU AEK dohot MANGALAP GOAR
.
Sesudah beberapa minggu keluarga yang mendapat anak akan menentukan hari (maniti ari) untuk membawa anak yang baru lahir itu pertama kali ke mata air keramat atau homban (biasanya setiap kampung memiliki mata air keramat di tengah sawah) dipimpin oleh seorang dukun (datu). Inilah yang dinamakan upacara manutu aek. Melalui ritus ini keluarga menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air Boru Saniang Naga yang merupakan representasi kuasa Mulajadi na Bolon dan roh-roh leluhur untuk menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat. Juga sekaligus meminta agar semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe). Acara ini dilanjutkan dengan memberikan nama atau mambahen goar kepada si bayi, yang juga dengan meminta rekomendasi dukun (datu). Bila dukun mengatakan nama itu tidak berakibat baik kepada si anak, maka orangtuanya pun akan mengganti nama itu. Beberapa umpasa yang sering diucapkan:
.
Dangka ni bulu godang pinangait-aithon.
Sai simbur magodang ma ibana dao ma panahit-nahiton.
.
Ijuk ma tarup ni sopo godang basbason tarup ni sopo balian.
Sai simbur ma ibana magodang pengpeng laho matua jala dao ma parsahitan.
.
Bagi kita komunitas Kristen-Batak jelas acara manutu aek bertentangan dengan iman kristiani kita sebab itu harus ditinggalkan. Begitu juga upacara mamampe goar (memberi nama) yang melibatkan dukun (datu). Kita percaya hanya darah Kristus sajalah yang dapat membersihkan dan menyucikan kita dari dosa dan kejahatan, dan melindungi kita dari segala bahaya. Upacara manutu aek dan mangalap goar biasanya dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan, mebang). Kita tahu pada jaman dahulu pekan atau pasar (onan) terjadi satu kali seminggu. Onan adalah simbol pusat kehidupan dan keramaian, sekaligus simbol kedamaian. Ke sanalah orangtua si bayi membawa anak yang baru lahir itu. Orangtua si bayi sengaja membeli lepat (lapet) atau pisang di pasar dan membagi-bagikan kepada orang yang dikenalnya sebagai tanda syukur dan sukacitanya. Sebaliknya kerabat yang menjumpainya juga membekali si bayi dengan oleh-oleh kecil. Bagi kita komunitas Batak-Kristen moderen yang paling penting adalah menangkap makna atau nilai yang terkandung di dalam tradisi maronan atau mebang ini
yaitu: memperkenalkan dan membawa anak masuk kepada realitas atau dunia sekitarnya.
.
3. MEBAT atau MANGEBATI
.
Sesudah anak cukup kuat untuk dibawa berjalan-jalan maka keluarga pun memilih hari untuk membawanya untuk mengunjungi atau melawat (mebat, mangebati) kepada ompungnya (terutama ompung bao) dan keluarga lain seperti tulang. Keluarga ini pun membawa makanan (baca: memotong seekor babi) kepada ompung si bayi. Pada kesempatan ini ompungbao dapat memberikan ulos parompa (ulos kecil untuk menggendong atau mendukung anak bayi). Bagi kita komunitas Kristen-Batak moderen tradisi mebat (melawat) ini tentu juga baik untuk dipertahankan. Sebab makna yang terkandung dalam tradisi mebat ini adalah mendekatkan si anak secara emosional kepada kerabatnya, terutama ompungbao dan tulangnya.
.
4. PAIAS RERE
.
Ada kalanya suatu keluarga muda tinggal di rumah atau kampung mertuanya dan melahirkan anak di sana. Ada kebiasaan pada jaman dahulu, keluarga mengadakan jamuan paias rere (membersihkan tikar) untuk mertuanya sebagai tanda terima kasih atas kerepotan mertua mengurus bayi yang baru lahir. Bagi keluarga Kristen-Batak moderen yang menganut kesetaraan laki-laki dan perempuan, tentu saja adat paias rere ini harus dikritisi dan diberi makna baru hanya sebagai ucapan terima kasih. Sebab bagi kita anak laki-laki dan perempuan sama dan setara.
.
5. ULOS PAROMPA
.
Ulos parompa adalah ulos yang diberikan oleh ompung bao kepada cucunya. Pada jaman dahulu ulos kecil ini memang benar-benar fungsional atau digunakan untuk menggendong (mangompa) si bayi sehari-hari. Namun sekarang dalam prakteknya ulos parompa tinggal merupakan simbol kasih ompung bao sebab komunitas Batak moderen sudah menggunakan tempat tidur bayi, kain panjang batik, gendongan dan ayunan untuk menggendong bayi.
.
Ada kebiasaan komunitas Batak sekarang terutama di kota-kota untuk mengobral ulos parompa. Bukan hanya ompung bao, tetapi seolah-olah semua hula-hula harus memberikan ulos parompa kepada bayi yang baru lahir. Obral ulos ini hanya mengurangi makna ulos parompa.
.
7. PANDIDION NA BADIA
.
Inilah isi Pengakuan Iman (Konfessi) HKBP tentang baptisan kudus:
.
Kita percaya dan menyaksikan : Baptisan kudus adalah perantaraan anugerah Allah kepada manusia, sebab melalui baptisan orang percaya menerima keampunan dosa, kelahiran kembali, kelepasan dari maut dan kuasa iblis, serta hidup yang kekal. Dengan ajaran ini kita menyaksikan: anak kecil pun harus dibaptiskan karena dengan pembabtisan itu mereka juga masuk ke dalam persekutuan orang-orang yang ditebus oleh Yesus. Ini juga berhubungan dengan pembekatan anak-anak oleh Tuhan Yesus. (Kis 2:41, 10:48, 16:33, Roma 6:4, I Kor 10:4, Titus 3:5, Ibrani 11:29, I Pet 3:21).
.
Dengan penjelasan di atas jelaslah bagi kita bahwa Pandidion na Badia (baptisan kudus) berbeda sama sekali dengan tradisi manutu aek dan mamampe goar. Baptisan adalah sakramen yang menjadikan seorang anak masuk ke dalam Kerajaan Allah, pewaris segala berkat, dan keselamatan yang dikerjakan oleh Tuhan Yesus Kristus. Pemberian nama adalah hak dan urusan orangtua si bayi. Sebab itu baptisan bukanlah “mengambil nama” (mangalap goar) dari gereja. Gereja membabtiskan si bayi untuk masuk Kerajaan Allah bukan memberikan nama si bayi. Nama bisa saja berganti. Namun babtisan tetap sekali untuk selamanya.
.
Dalam Roma 6:4 melalui pandidion na badia atau baptisan kita dijadikan satu atau sepokok (sanghambona) dengan Kristus yang mati (bagi dosa) dan Kristus yang bangkit (hidup bagi Allah). Sebab itu dasar baptisan adalah mempersatukan orang percaya dengan kematian dan kehidupan Kristus. Sebab itu sama seperti kematian Kristus, babtisan itu pun bagi kita hanya terjadi sekali untuk selama-lamanya. Sebagai orang-orang Kristen-Batak sebaiknya kita tidak mencampur-adukkan atau menggabung Baptisan Kudus (Pandidion na Badia) dengan adat Batak (mebat, memberikan ulos parompa, dll). Baptisan itu adalah peristiwa yang sungguh besar dan mulia bagi orang beriman yang tidak dapat lagi ditambah-tambah dengan makna yang lain. Melalui baptisan seorang pindah dari kematian kepada kehidupan, dari perhambaan dosa kepada Kerajaan Allah. Jika komunitas Kristen-Batak ingin menyampaikan kasih kepada anak atau penghormatan kepada orangtua sebaiknya dilakukan di kesempatan lain.
.
Kita harus mengatakan dengan berani, jujur dan penuh kesantunan bahwa kegiatan-kegiatan adat yang dilakukan komunitas Kristen-Batak yang dilakukan di rumah persis sesudah acara Babtisan Kudus sangat merugikan makna baptisan sebagai sakramen, yang merupakan sarana keselamatan, hidup baru, pengampunan dan pewarisan Kerajaan Allah.
.
Oleh: Daniel T.A. Harahap

Rap Marsipanganon

MAKAN BERSAMA (rap marsipanganon) sangat penting dan bermakna khusus bagi komunitas Batak. Tidak ada suatu pembahasan atau kegiatan penting yang boleh dilakukan sebelum makan bersama. Ingkon di ginjang ni sipanganon do pangahataion na marsintuhu. (percakapan penting harus dilakukan sesudah makan). Seperjamuan atau sapanganon adalah tanda persekutuan, kebersamaan dan perdamaian, jadi bukan sekadar aktifitas mengenyangkan perut saja.
.
Ada bermacam bentuk makan bersama dalam kultur Batak. Ada tradisi mamboan sipanganon (membawa makanan ke rumah seseorang) dan ada pula mamio (mengundang orang datang untuk makan), memberi makan pihak “atas” (manulangi) dan atau pihak “bawah” (mangupa), memberi makan dalam rangka meminta sesuatu dan ada juga hanya untuk mentraktir (manggalang), makan merayakan sukacita (mangan haroan, mamoholi, pesta unjuk) atau menghayati kedukaan (mangan indahan sipaet-paet/ togar-togar).
.
Kultur Batak secara umum menyebutkan makan sebagai mangan indahan na las (makan nasi hangat) dan manginum aek sitio-tio (minum air bening). Indahan na las dohot aek sitio-tio adalah simbol kehidupan penuh sukacita dan kejujuran. Makan bersama sebab itu bertujuan merayakan kehidupan dan kebenaran.
.
Menarik, bahwa bahasa Batak sama-sama menggunakan kata las untuk menyebutkan hangat maupun sukacita. Kata tio berarti bening, digunakan untuk air maupun pandangan juga niat hati. Air yang bening adalah simbol transparansi, kejujuran dan ketulusan yang sangat dijunjung tinggi dan dihargai oleh kultur Batak.
.
1. TUDU-TUDU SIPANGANON
.
Tudu-tudu sipanganon yang arti harafiahnya penanda perjamuan (bila dalam keadaan lengkap disebut na margoar atau bagian-bagian hewan yang diberi nama sesuai dengan yang berhak menerimanya dalam parjambaran atau pembagian daging hewan) adalah bagian-bagian tertentu hewan sembelihan yang diletakkan di tengah-tengah sebagai simbol penghormatan hasuhutan kepada undangannya khususnya hula-hula. Maksudnya: untuk menjamu hula-hula pihak tuan rumah tidak membeli daging kiloan (rambingan) tetapi rela mengorbankan nyawa satu ekor hewan. Sebagai balasnya hula-hula akan memberikan ikan (dengke) dan beras. (Dahulu disebut boras sipir ni tondi atau beras penguat roh, sekarang bagi komunitas Batak-Kristen harusnya disebut boras parbue atau beras buah kehidupan).
.
Sering kita saksikan pada jaman sekarang sewaktu menyerahkan tudu-tudu sipanganon atau penanda perjamuan pihak keluarga akan beramai-ramai memegang piringnya dan kalau mereka terlalu banyak jumlahnya akan saling memegang bahu, seolah-olah ada sesuatu yang hendak dialirkan. Padahal kesaksian orang tua-tua pada jaman dahulu tidak begitu. Tudu-tudu sipanganon cukup diletakkan di tengah-tengah ruangan di hadapan undangan terhormat! Bagi kita orang Kristen lebih baik tudu-tudu sipanganon diletakkan di tengah tengah ruang agar tidak menimbulkan salah tafsir seolah-olah makanan itu memiliki kekuatan magis atau menjadi medium penyaluran berkat. Sebab tudu-tudu sipanganon itu hanyalah simbol penghormatan kepada undangan bahwa jamuan dilakukan dengan khidmad dan sepenuh hati. Tidak ada kekuatan magis yang hendak dialirkan di sana.
.
Sebagai simbol pengormatan, tudu-tudu sipanganon seharusnya pertama kali disampaikan kepada Allah dan kemudian kepada manusia. Sebab itu dalam even pertemuan Kristen-Batak sebaiknya kita lebih dulu berdoa makan sebelum menyerahkan tudu-tudu sipanganon kepada hula-hula. Itulah tanda bahwa kita lebih taat dan hormat kepada Allah daripada kepada manusia (Kis 5:29)
.
2. SAPA
.
Sapa adalah piring kayu berdiameter lebih-kurang 40 cm. Pada jaman dahulu keluarga nenek moyang kita makan duduk lesehan di lantai menggunakan satu sapa. Lazimnya 1(satu) rumah memiliki 1(satu) sapa. Bapa, ibu dan anak-anak makan di satu sapa dengan tertib, sopan dan hormat. Peranan sapa sebab itu mirip dengan meja makan di rumah kita orang moderen. 1 satu) rumah 1(satu) meja makan. Yang terpenting bukanlah sapa atau meja makan itu an sich tetapi kesatuan keluarga yang menggunakan sapa atau meja makan itu.
.
Tentu saja kita sekarang tidak mungkin lagi kembali ke tradisi sapa. Namun acara makan dan doa bersama satu keluarga inti harus tetap kita hidupkan dan laksanakan. Mungkin bagus jika kita komunitas Kristen-Batak dapat menjadikan sapa sebagai simbol kebersamaan keluarga inti: ayah, ibu dan anak-anak. Sebab ada kecenderungan kita hanyut dengan ritus-ritus keluarga besar (na saompu, parmargaan) dan mengabaikan peranan keluarga inti sebagai dasar atau tiang kehidupan.
.
3. MARMEME
.
Pada jaman dahulu ibu-ibu marmeme, mengunyahkan makanan untuk anak-anaknya yang masih kecil. Makanan lebih dulu dikunyah si ibu kemudian secara cepat dan trampil langsung dimasukkan ke mulut si anak kecil. Persis seperti burung atau hewan lainnya. Bagi kita orang moderen mungkin ini dianggap menggelikan, kurang higienis atau “jorok”. Namun pada jaman dahulu marmeme adalah wajar dan merupakan tanggungjawab orangtua. Sebagaimana menyusui, marmeme sangat meneguhkan hubungan emosional antara orangtua. Ada satu umpama yang dalam tentang marmeme: dompak marmeme anak, dompak marmeme boru. Artinya tidak ada perbedaan antara anak laki-laki atau anak perempuan.
.
4. MANULANGI & MANGUPA-UPA
.
Kultur Batak mengenal istilah manulangi, yaitu menyampaikan makanan yang lezat kepada orangtua atau hula-hula. Dahulu motivasi memberi makanan ini selain untuk menyenangkan hati orangtua atau hula-hula, juga untuk menyampaikan permohonan kepada yang diberi makan. Apalagi ketika memberi sulang-sulang hariapan atau perjamuan purnabakti atau pensiun dari adat kepada seorang tua, sebetulnya lebih kental dengan kepentingan anak-anak daripada kepentingan orangtua yang sudah lanjut usia itu. Disinilah iman Kristen harus menerangi dan menggarami kultur manulangi. Acara manulangi haruslah berdasarkan kasih agape atau kasih tanpa pamrih (holong na so marpambuat) dan hormat tanpa syarat (hormat na so marsiala) kepada orangtua.
.
Mangupa-upa adalah kebalikan dari manulangi. Yaitu dari orangtua kepada anak, dari hula-hulakepada boru. Tujuannya terutama untuk menguatkan, meneguhkan dan memberi semangat kepada anak atau boru yang sakit, terkejut atau baru lepas dari bahaya. Pada jaman pra-kristen orang yang sakit, lemah, terkejut, celaka dianggap ditinggalkan oleh roh-nya (tondi-nya) karena itu perlu diupa-upa agar rohnya kembali: “mulak tondi tu ruma”. Sebab itulah nenek moyang kita kadang memberikan beras ke atas kepala anak atau borunya. Istilah boras si pir ni tondi menunjuk kepada pemahaman bahwa tondi (roh) si sakit harus dikuatkan dan didinginkan. Istilah boras si pir ni tondi ini tidak cocok lagi dengan kekristenan kita yang menghayati kesatuan pribadi (tubuh-roh). Selain itu bagi kita yang beriman kepada Kristus makanan (sipanganon) tidak lagi dianggap memiliki kekuatan magis atau menjadi medium berkat. Sumber kesembuhan, kekuatan dan keselamatan kita adalah Tuhan Yesus Kristus yang telah mati dan bangkit. Boras hanyalah simbol hahorason! Sebab itu acara mangupa-upa bagi kita adalah kebaktian atau ibadah memohon kesembuhan atau kekuatan kepada Allah Bapa, AnakNya Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus. Makanan upa-upa hanyalah simbol kasih dan perhatian kita kepada yang sakit dan bukan medium (parhitean) berkat. Dalam mangupa-upa perhatian kita harus tetap tertuju kepada Kristus yang tersalib dan bangkit. Jelas dan tegas bagi kita Kristus itulah satu-satunya sumber kehidupan.
.
5. MANGAN INDAHAN NA SINAOR atau PARPANGANAN NA BADIA
.
Kultur Batak mengenal apa yang dinamakan mangan indahan na sinaor, atau perjamuan pendamaian (pemulihan hubungan). Jika ada dua orang atau kelompok yang terlibat konflik maka mereka akan menyelesaikan konflik melalui makan bersama yang biayanya dipikul oleh kedua belah pihak. Bagi kita komunitas Kristen-Batak tentu tidak ada larangan menyelenggarakan makan bersama sebagai tanda perdamaian ini. Namun, kita harus menyadari bahwa sesungguhnya Kristuslah yang mendamaikan kita (Efesus 2:13-18). Karena itu Perjamuan Kudus (ekaristi) itulah sesungguhnya perjamuan pendamaian yang sejati. Melalui Perjamuan Kudus pertama-tama dan terutama kita diperdamaikan dengan Allah dan sebagai dampaknya diperdamaikan dengan sesama, diri sendiri dan alam lingkungan kita.
.
Dalam Perjamuan Kudus tubuh dan darah Tuhan hadir dalam dan bersama-sama roti dan anggur yang kita makan. (con-substansia). Roti dan anggur tidak berubah wujud namun tubuh dan darah Tuhan hadir bersama-sama roti dan anggur itu. Sebab itu pada saat Perjamuan kita memang benar-benar menerima tubuh dan darah Tuhan Yesus: sumber pengampuan dosa, pendamaian, kehidupan yang kekal, sukacita, dan damai sejahtera kita. Dalam gereja purba (I Kor 11:17-22) dikenal perjamuan kasih (agape). Sebelum Perjamuan Kudus, maka jemaat lebih dulu makan bersama, yang bahannya dikumpulkan dari yang dibawa oleh masing-masing anggota. Lambat-laun tradisi ini menghilang. Namun sebenarnya baik jika dihidupkan kembali oleh gereja-gereja berlatar belakang budaya Batak dan modernitas yang sangat haus akan kebersamaan dan persekutuan (communion).
.
Pertanyaan terakhir: siapa yang paling berat menanggung biaya tradisi makan (marsipanganon) Batak ini? Apakah jamuan-jamuan makan ini membebaskan (meringankan) atau malah memberatkan (menekan) komunitas Kristen-Batak itu sendiri terutama yang ekonominya lemah?
.
6. SEMUA BOLEH TETAPI TIDAK WAJIB
.
Apa kata Alkitab tentang makanan? Yesus mengatakan bahwa segala sesuatu boleh dimakan, yang najis bukanlah apa yang masuk melalui mulut tetapi apa yang keluar dari mulut (perkataan). (Mat 15:11) Segala sesuatu dapat dimakan dan diminum, tidak ada yang haram. (Kol 2:16). Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman. (Roma 14:17). Tidak ada jenis makanan yang mendekatkan atau menjauhkan diri kita dari Allah (I Kor 8:8-10). Kita boleh makan dan minum apa saja (termasuk daging bercampur darah, atau alkohol) dengan ucapan syukur. Dan kita tidak diijinkan menjadikan kebebasan itu sebagai batu sandungan bagi orang lain. Kita harus menguasai diri dan tidak boleh diperhamba oleh makanan atau minuman (termasuk bir atau anggur!). Karena itu kita juga tidak boleh menjadikan sangsang (daging babi yang dicincang dan dimasak memakai darah) sebagai tanda kekristenan kita. Ingat: tanda bukti kekristenan kita yang sesungguhnya adalah kebenaran, damai sejahtera dan sukacita abadi oleh Roh Kudus. (Roma 14:17).
.
Oleh: Daniel T.A. Harahap

Hamatean

1. DULU DAN SEKARANG
.
Kultur Batak pra-kristen memberikan perhatian yang sangat (terlalu?) besar kepada peristiwa kematian. Menurut nenek moyang orang Batak ada berjenis-jenis kematian yang menunjukkan status sosial seseorang (yang terkait erat dengan konsepsi kesuburan/ hagabeon): mati sewaktu kanak-kanak, mati sewaktu remaja/ pemuda (mate ponggol, mate matipul), mati sesudah menikah namun tanpa anak (mate punu), mati sesudah menikah dengan anak masih kecil (mate mangkar), mati sesudah bercucu (mate sari matua), mati sesudah bercucu dari semua anak-anaknya (mate saur matua) dan puncaknya mati sesudah bercicit dan berbuyut (saur matua bulung). Bagi kita orang yang beriman Kristen makna kematian ini adalah sama: yakni akhir hidup di dunia dan jalan untuk menghadap Tuhan. Sebab itu sebagai orang Kristen kita wajib menaruh penghormatan dan kasih yang tinggi juga kepada orang yang mati muda.
.
2. SOLIDARITAS DAN KOMUNALITAS
.
Mengapa kita harus berusaha hadir dalam peristiwa kematian seorang anggota keluarga atau kerabat? Pertama-tama: tentu hendak menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih dulu mati tersebut. Kedua: menunjukkan rasa hormat dan kasih kepada orang yang ditinggalkan. Ketiga: mengingatkan diri kita bahwa suatu saat kelak kita juga harus mati.
.
Secara khusus ritus-ritus atau acara di sekitar kematian merupakan tanda solidaritas (kesetiakawanan) kita dengan orang yang ditinggalkan. Kehadiran seluruh kelompok adat dan mandok hata yang berderet-deret dalam peristiwa kematian juga seharusnya diartikan sebagai tanda solidaritas dengan orang yang sedang berduka.
.
Kehadiran dalam peristiwa kematian adalah suatu tanda solidaritas dan kebersamaan: bahwa seorang yang sedang berduka tidak boleh dibiarkan sendirian menanggung bebannya. Dia harus ditemani dalam kedukaannya. Memang ada umpama pitu batu martindi sada do na tumaon na dokdok. Tetapi beban yang berat itu hendak dikurangi dan dibagi-bagikan kepada banyak orang.
.
3. ULOS TUJUNG DAN SAPUT
.
Kultur Batak mengenal ulos tujung, yaitu ulos yang diberikan hula-hula kepada seorang perempuan yang kematian suami atau menjadi janda. Ulos itu, sesuai namanya, dikerudungkan ke atas kepala si perempuan, sebagai tanda kejandaan atau bahwa “kepalanya sudah terputus” (maponggol ulu). Pada jaman dahulu tidak ada acara membuka tujung sesudah pemakaman (kecuali si janda hendak menikah lagi). Ulos tujung itu selalu dikenakan lagi oleh semua janda dalam even-even kematian yang lain, sehingga sering memberi kesan menggetarkan bagi orang yang melihatnya. Berhubung
sebelum datangnya kekristenan orang Batak masih bersifat poligami (banyak istri) maka di beberapa wilayah ulos tujung tidak diberikan kepada laki-laki yang kematian istri.
.
Sebagai komunitas Kristen-Batak kita dapat menerima tradisi ulos tujung ini sebagai simbol tanggungjawab yang berat (peran orangtua tunggal) yang dibebankan kepada seorang perempuan yang kematian suami. (Bagi perempuan yang sudah lanjut usia dan bercucu biasanya tidak lagi disebut ulos tujung, tetapi ulos sampetua).
.
Selain ulos tujung, kultur Batak juga mengenal ulos saput, yaitu ulos yang diberikan tulang untuk membungkus jenazah keponakannya. Kita komunitas Kristen-Batak sekarang mengartikan ulos saput ini adalah tanda perpisahan atau ungkapan kasih terakhir kalinya dari Tulang kepada bere/ ibaberenya yang sudah meninggal. Namun dalam pemberian ulos saput ini kita harus menyadari bahwa pada hakikatnya orang mati adalah urusan dan tanggungjawab Tuhan dan kita tidak bisa lagi berkomunikasi dengan orang yang sudah mati itu. Tentu saja kita percaya dan mengaku bahwa Kristus lah satu-satunya yang menyelamatkan kita dan membungkus jiwa kita dengan darahNya yang kudus, namun kita boleh saja menerima tanda kasih dari sesama manusia, termasuk tentu dari Tulang.
.
4. ONDA-ONDA, SIJAGARAON / SANGGUL MARATA
.
Kultur Batak menganggap kematian seorang tua yang sudah bercucu (sari matua) dan bercicit (saur matua) sebagai suatu peristiwa besar yang patut disyukuri. Tidak lagi banyak kesedihan di sana. Dalam kematian orangtua tersebut semua keturunannya akan menari (manortor) gembira dengan iringan gondang atau musik tiup (perkembangan kemudian). Kita sebagai orang Kristen bisa menerima tradisi ini dengan beberapa catatan. Iman kekristenan menolak kebiasaan agama lama menimba atau mencedok tuah atau berkat dari orang mati. Sebab itu ketika mangondasi (menari di sekeliling mayat) orang tua kita perlu tetap mengarahkan hati kepada Tuhan Yesus Kristus yang mati dan bangkit itu.
.
Catatan: dalam manortor kita harus mewaspadai agar mengubah simbol-simbol gerakan tubuh sewaktu manortor. Antara lain: jangan menggerakkan tangan dari arah mayat ke diri sendiri ibarat orang menimba atau mencedok air untuk minum yang biasa digunakan oleh orang Batak pra-Kristen sebagai simbol mengambil (mencedok) tuah atau berkat dari orang mati.
.
Sebagai tanda kebesaran dari orang tua yang sudah meninggal dunia biasa dipasang sijagaron atau sanggul marata (mahkota segar) dari daun beringin (simbol kesuburan) dan padi (simbol kekayaan) dll. Sebagai komunitas Kristen-Batak kita harus memberi makna baru kepada sanggul marata ini, yaitu sebagai tanda syukur dan persembahan kepada Tuhan yang telah memberikan umur panjang dan berkat kepada orangtua yang meninggal dunia dan keluarganya. Untuk memperkaya pemahaman itu mungkin dengan menambah simbol salib dan lilin di sanggul marata tersebut yang mengingatkan kita bahwa mahkota kehidupan hanya datang dari Allah dalam Yesus PutraNya kepada orang yang setia dalam imannya (Wahyu 3:11) dan api Roh Kudus yang membaharui hidup.
.
5. MANGONGKAL HOLI DOHOT MANANGKOKHON SARING-SARING
.
Kultur Batak pra-Kristen menganggap salah satu bentuk penghormatan kepada orangtua atau leluhur adalah dengan meninggikan posisi tulang-belulang (saring-saring) mereka di atas tanah, khususnya ke bukit yang tinggi dan batu yang keras. Panangkokhon saring-saring tu dolok-dolok na timbo tu batu na pir. Peninggian tulang-belulang ini biasanya dilakukan melalui upacara besar.
.
Ruhut Parmahanion Paminsangon (RPP) atau Hukum Penggembalaan dan Siasat HKBP mengatakan bahwa penggalian tulang-belulang (mangongkal holi) dimungkinkan karena beberapa alasan:
.
1. Kerusakan kuburan karena dimakan usia atau faktor alam (banjir, longsor).
.
2. Penggusuran kuburan karena pembebasan lahan untuk pembangunan jalan, waduk, industri dll.
.
3. Penyatuan tulang-belulang keluarga yang kuburannya terpisah-pisah.
.
Majelis Gereja harus mengetahui dan aktiv terlibat dalam acara penggalian tulang-belulang mulai dari menggali, menyimpan hingga memasukkan ke tempat yang baru. Bila lokasi antara kuburan yang lama dan baru berjauhan, maka tulang-belulang harus disimpan di gereja. Dalam proses menggali atau memasukkan tulang-belulang itu tidak boleh diiringi tortor dan gondang serta musik. Juga tidak berjalan Agenda Pemakaman.
.
Majelis harus mengawasi tidak ada yang manortori, meratapi, memasukkan tulang-belulang ke ulos dan ampang/ piring, memberi sirih atau makanan, atau memasukkan batang pisang kelubang bekas penggalian.
.
6. TUGU
.
Gereja HKBP memang tidak melarang secara tegas anggota jemaat membangun tugu penghormatan kepada nenek moyang atau persatuan keluarga (marga, ompu) namun mengingatkan jemaat bahwa pembangunan tugu itu kurang berdampak bagi pembangunan kehidupan iman maupun ekonomi. Sebagai gantinya gereja HKBP menganjurkan jemaat membangun tugu yang fungsional atau hidup, seperti: sekolah, perpustakaan, poliklinik, jembatan, koperasi, komisi beasiswa dll.
.
Gereja juga mengajak jemaat untuk selalu mengingat peristiwa kubur kosong karena Tuhan Yesus Kristus sudah bangkit dari antara orang mati. Tuhan ada di tengah-tengah realitas kehidupan. Kita juga tahu bahwa penampakan Yesus yang bangkit selalu di tengah kehidupan. Bahkan Maria Magdalena berjumpa dengan Yesus setelah ia membelakangi kubur kosong! Selanjutnya agar warga jemaat lebih dulu menyatakan kesatuan dalam Kristus dan Roh Kudus daripada kesatuan marga, luat, ompu dll.
.
7. ZIARAH
.
Kita harus mengkritisi tradisi berziarah dan membersihkan kuburan di kalangan komunitas Kristen-Batak. Iman kita mengatakan ada jurang yang tidak terseberangi yang memisahkan orang yang hidup dengan yang mati. Sebab itu kekristenan menolak setiap bentuk usaha untuk berhubungan kembali dengan orang mati, misalnya: memberi makan, meminta petunjuk, memohon berkat dari orang yang sudah mati tersebut. Kita sebaiknya menyadari kuburan bukanlah tempat yang ideal untuk berdoa. Tempat berdoa yang paling kondusif adalah rumah dan gereja. Tanda penghormatan kita kepada orangtua yang sudah meninggal bukanlah terutama membangun megah atau sering mengunjungi kuburannya tetapi dengan menghayati hidup yang benar dan baik sesuai firman Tuhan dan teladannya.
.
8. PENGAKUAN IMAN HKBP
.
Konfessi HKBP pasal 16 menyatakan: Kita percaya dan menyaksikan bahwa manusia satu kali mengalami kematian dan sesudah itu penghakiman. (Ibrani 9:27). Manusia yang telah mati itu beristirahat dari seluruh pekerjaannya (Wahyu 14:13). Yesus Kristus adalah Tuhan orang yang hidup maupun mati. Bila kita mengenang orang yang sudah meninggal, sebetulnya kita hendak menyadarkan diri kita sendiri akan ajal atau akhir hidup kita dan untuk meneguhkan pengharapan kita akan persekutuan orang-orang percaya dengan Allah serta untuk menguatkan hati kita berjuang dalam realitas hidup ini. (Wahyu 7:9-17). Dengan ajaran ini kita menolak dan melawan ajaran animisme yang mengatakan bahwa roh-roh (tondi) orang yang sudah mati masih dapat berhubungan atau berinteraksi dengan manusia. Kita juga menolak ajaran yang mendoakan orang yang sudah mati. Sebab orang yang sudah mati menjadi wewenang dan urusan Tuhan.
.
Oleh: Pdt Daniel Taruli Asi Harahap

Hagabeon

Hagabeon (kesuburan, memiliki banyak turunan) adalah satu dari antara tiga cita-cita atau filsafat hidup terpenting Batak. Dua lagi adalah: hamoraon (memiliki banyak harta) dan hasangapon (sangat dihormati). Ketiga hal itu, sering disingkat 3(tolu)-H, dianggap sebagai “tiga serangkai” nilai yang menjadi falsafah atau orientasi hidup masyarakat Batak. (dalam lagu Alusi ahu ciptaan Nahum Situmorang ke tiga nilai itu sudah disebut sebagai cita-cita banyak orang Batak). Namun menurut penulis, sadar atau tidak sadar, banyak rang Batak sebenarnya menganggap hagabeon itulah yang paling penting atau bahkan satu-satunya yang memberi makna hidup di dunia ini.
.
1. HAGABEON DALAM PANDANGAN TRADISIONAL BATAK
.
Kita harus memahami falsafah hagabeon ini dalam konteks sejarah. Pada jaman dahulu,
sebelum masuknya Injil dan modernitas ke Tanah Batak, angka kematian bayi dan anak-anak di kampung-kampung sangatlah tinggi. Sementara jumlah (kuantitas) manusia sangatlah dibutuhkan untuk menopang kehidupan dan persekutuan, antara lain untuk bertani dan membuka lahan baru, bertahan terhadap serangan musuh dan lain-lain. Sebab itu hagabeon (kesuburan) manusia memang sangat dibutuhkan untuk menopang kehidupan. Karena itulah masyarakat Batak sangat merindukan banyaknya orang (mauas di jolma). Hal ini didukung oleh konsep agama Batak yang menganggap kesuburan sebagai berkat ilahi yang terpenting. sebagaimana terlihat begitu banyak umpasa yang mengharapkan kesuburan tersebut:
.
Bintang na rumiris ombun na sumorop
Anak pe riris boru pe torop.
.
Lili ma di ginjang hodong ma di toru
Riris ma jolma di ginjang torop ma pinahan di toru.
.
Andor halumpang togu-togu ni lombu
Sai saur matua ma ho paabing-abing pahompu.
.
Harangan ni Pansur batu hatubuan ni singgolom
Maranak ma hamu sampulu pitu marboru sampulu onom.
.
Sahat-sahat ni solu sai sahat tu bontean
Leleng hita mangolu sai sahat ma tu panggabean
.
Sai tubuan laklak ma tubuan singkoru
Sai tubuan anak ma hamu tubuan boru.
.
Tinampul bulung ni salak laos hona bulung singkoru
Tibu ma hamu mangabing anak laos mangompa boru
.
Balga ma tiang ni ruma umbalga tiang ni sopo
Nunga gabe angka na matua gabean ma angka naposo.
.
Dalam kultur Batak pra-Kristen sumber hagabeon (kesuburan) ini adalah berkat hula-hula. Sebab itu jika seseorang tidak mendapat anak, maka dia juga datang kepada hula-hulanya memohon belas kasihan dan berkat. Begitu pentingnya kesuburan ini, sehingga demi memperoleh hagabeon kultur Batak pra-Kristen mengijinkan seorang laki-laki yang tidak memiliki keturunan atau bahkan anak laki-laki untuk menikah lagi (marimbang) atau menceraikan istrinya (sirang).
.
Hagabeon (kesuburan) itu juga sangat menentukan status sosial seseorang dalam masyarakat Batak pra-Kristen. Semakin banyak anak, cucu dan cicit seseorang semakin terhormatlah orang tersebut dalam persekutuan adat. Itu nampak jelas dalam ritus-ritus kematian yang diatur oleh adat Batak pra-Kristen. Seorang yang mati meninggalkan keturunan yang banyak (saur matua bulung) akan mendapat penghormatan yang luar biasa. Berbeda dengan seorang yang mati tanpa anak atau bahkan tanpa anak laki-laki.
.
Nilai hagabeon (kesuburan) ini juga nampak jelas dalam berbagai praktek ritus Batak pra-Kristen yang lain. Seorang yang tidak menikah (walaupun sukses secara pribadi) dianggap sama dengan kanak-kanak. Pada jaman dahulu seseorang yang menikah namun tidak punya anak juga tidak diijinkan mangulosi (memberi berkat) dan jika manortor hanya boleh mengepalkan kedua tangannya. Seorang yang menikah dan hanya memiliki anak perempuan manortor dengan satu tangan terkepal dan satu tangan terbuka. Dalam rumah tradisional Batak nilai hagabeon (kesuburan) ini dimunculkan dalam simbol atau gambaran biawak (boraspati ni tano) dan empat payudara (adop-adop). Sementara dalam even kematian terlihat dalam simbol daun beringin yang bercabang dan beranting (sijagaron atau sanggul narata).
.
Dalam kultur Batak pra-Kristen hagabeon (kesuburan) bukan saja menentukan status sosial seseorang namun dianggap sebagai suatu tanda yang absolut bahwa seseorang mendapat berkat. Karena itu kemandulan otomatis dianggap sebagai bencana atau kutuk (terlebih bagi kaum perempuan). Itulah juga yang menyebabkan kultur Batak pra-Kristen menganggap pernikahan tanpa anak sama sekali tidak berguna atau tidak bermakna. Sisa-sisa warisan adat dan agama lama tentang keuburan itu mesti kita kritisi dan waspadai karena tidak lagi relevan (cocok) dengan iman Kristen dan budaya modernitas kita.
.
2. HAGABEON DALAM PERSPEKTIF MODEREN
.
Komunitas Batak sekarang hidup dalam era moderen. Agar dapat survive di tengah masyarakat moderen maka komunitas Batak juga harus mengakomodir nilai-nilai modern termasuk tentang kesuburan (hagabeon). Bagaimana pandangan modernitas tentang nilai kesuburan?
.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk kedokteran dan farmasi, maka angka kematian bayi dan anak-anak dapat ditekan. Jumlah penduduk bumi semakin bertambah. Sebab itu masyarakat moderen mencanangkan Keluarga Berencana (Keluarga Bertanggungjawab) termasuk dengan membatasi jumlah kelahiran.
.
Nilai-nilai manusia juga bergeser termasuk tentang kehidupan keluarga, pernikahan dan anak. Bagi masyarakat moderen bukan lagi kuantitas anak yang dipentingkan tetapi kualitas kehidupannya. Karena itu sedikit anak lebih bagus dibanding banyak anak. Anak laki-laki atau perempuan benar-benar dianggap sama dan setara. Pernikahan bukan lagi kewajiban tetapi pilihan bebas seseorang. Sebab itu pernikahan bagi bukan berarti peningkatan status sosial namun merupakan penambahan tanggungjawab pribadi. Menikah atau tidak menikah sama nilainya. Bahkan bagi sebagian orang, mengejar karir, prestasi, kinerja, dan kesenangan pribadi dianggap sama atau bahkan lebih penting dari menikah dan mempunyai anak.
.
Hal itu tidak berarti bahwa masyarakat moderen tidak menghargai kesuburan. Kemajuan teknologi kedokteran genekologi dan genetika (termasuk yang paling menghebohkan: bayi tabung dan clonning) menunjukkan bahwa orang moderen masih tetap merindukan anak atau keturunan. Namun, bagi orang moderen kesuburan sperma atau kandungan bukan lagi nilai terpenting atau satu-satunya dalam kehidupan manusia. Manusia moderen lebih menghargai produktivitas, kreativitas, karya hasil pemikiran dan budi baik manusia daripada kesuburannya menghasilkan banyak anak.
.
3. HAGABEON DALAM PERSPEKTIF KRISTEN
.
Berbeda dengan agama-agama Kanaan (juga Batak kuno) yang sangat menekankan kesuburan (hagabeon), kekristen lebih menekankan ketaatan kepada Allah dan kasih kepada sesama. Sebab itu tujuan pernikahan dalam kekristenan bukan hanya untuk berkembang-biak (prokreasi) tetapi juga untuk mengalami dan menikmati kesejahteraan (rekreasi).
.
Pernikahan adalah perjanjian dua pribadi yang saling mengasihi di hadapan Tuhan dan dijadikan gambaran hubungan Tuhan dan gereja. (Ef 5:31-32). Kasih dan kesetiaan kepada pasangan lebih penting daripada pemilikan anak. Karena itu ketidakhadiran anak (anak laki-laki) tidak dapat dijadikan alasan untuk menikah lagi atau bercerai. (Markus 10:9). Memang benar Alkitab mengatakan bahwa salah satu berkat Tuhan adalah memiliki keturunan (Kej 12:1, Kej 17:4-6). Namun keturunan bukanlah satu-satunya berkat Tuhan, sehingga kehidupan tanpa anak boleh dianggap sama dengan kehidupan tanpa berkat. Berkat Tuhan begitu banyak dan tidak terbatas jumlah dan jenisnya . (Ulangan 28)
.
Kita harus mengkoreksi pemahaman orang banyak yang mereduksi berkat Tuhan hanya menjadi 3(tiga):umur panjang, anak banyak, dan harta banyak. Kemudian direduksi menjadi satu: keturunan. Jika keturunan inilah satu-satunya parameter berkat Tuhan maka, Yesus dan Rasul Paulus serta nabi Yeremia tidak termasuk dalam kategori orang yang diberkati. Mungkinkah?
.
Sebagai komunitas Kristen-Batak dan moderen kita harus membaharui dan memperkaya makna hagabeon (kesuburan) dengan nilai moral dan spiritual.
.
Pertama: kesuburan bukanlah satu-satunya berkat Tuhan sebab itu ketidaksuburan jasmani (sperma dan kandungan) bukanlah dosa atau cela dihadapan Tuhan dan sesama, apalagi yang bukan diakibatkan oleh kesalahan yang bersangkutan. Sebab itu pasangan yang kebetulan tidak subur secara jasmani harus dapat melihat berkat Tuhan yang lain yang berlimpah dalam kehidupannya, sehingga tetap memiliki alasan bersyukur dan bersukacita serta berbuat kasih dan kebajikan kepada dunia.
.
Kedua: kesuburan jasmani tidak berpengaruh terhadap hubungan dengan Tuhan dan sesama, di hadapan Tuhan dan sesama orang yang menikah atau tidak menikah sama berharga dan mulianya, begitu juga orang yang memiliki anak atau tidak memiliki anak. Sebab itu tidak ada alasan menganggap diri rendah jika belum atau tidak memiliki anak.
.
Ketiga: kesuburan jasmani tidak boleh dijadikan alasan mengkhianati janji pernikahan, berselingkuh, menambah jumlah istri/ suami, atau bercerai. Kesuburan bukanlah satu-satunya yang memberi makna pernikahan. Sebab itu pasangan yang kebetulan tidak subur secara jasmani harus tetap meyakini pernikahan mereka sangat berguna bagi dirinya, bagi Tuhan dan dunia.
.
Keempat: kesuburan rohani, kreativitas dan produktivitas akal budi serta karya kasih kepada sesama lebih penting daripada sekedar kesuburan jasmani. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus, untuk melakukan pekerjaan baik (Ef 2:10)
.
Oleh: Pdt. Daniel T.A. Harahap
Google Search Engine
Google
·

Guestbook of HKBP

·
·


Visitor Map