Senin, 29 Oktober 2007

Keputusan Pemerintah Kerap Jadi Batu Sandungan

Jakarta (SIB)
Sebagian besar pemimpin agama baik kiai, pendeta, pastor maupun ulama belum optimal membangun pandangan dan sikap saling menghargai dalam keberagaman. Perjumpaan tokoh-tokoh agama yang secara formal terbilang intensif ternyata belum dalam kerangka menyelesaikan secara mendasar dan holistik akar-akar persoalan yang berpotensi mengganggu hubungan antar umat beragama di Indonesia.
.
Sayangnya, keputusan politik pemerintah ternyata lebih sering menjadi batu sandungan untuk mewujudkan kerukunan hidup beragama. Demikian dikemukakan Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pendeta Bonar Napitupulu, sebagai salah satu pembicara kunci pada diskusi “Memperkokoh Kerukunan Umat Beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Selasa (28/10) di Hotel Borobudur Jakarta.
.
Ia mencontohkan, prosedur mendirikan rumah ibadah menjadi cermin buruk kebijakan pemerintah. Napitupulu juga mengatakan saat ini masih terlihat adanya kecenderungan membangun eksklusivisme di dalam kelompok - kelompok agama.
.
“Hanya ada kami sembari menafikan kelompok lain. Atas nama eksklusivisme kelompok agama melakukan klaim sepihak atas nama hidup beragama dan menyalahkan penganut beragama yang berbeda dengannya”, tegas Napitupulu.
.
Atas persoalan-persoalan tersebut Napitupulu melihat tiga pokok pikiran sebagai solusi untuk memperkokoh kerukunan hidup beragama. Pertama, setiap lembaga agama di Indonesia perlu membangun diri menjadi lembaga agama yang inklusif dan dialogis. Pendekatan yang isolatif dan konfrontatif hanya menyebabkan agama kehilangan momen untuk menggarami dunia modern.
.
Senada dengan Napitupulu, Direktur Reform Center for Religion and Society Benyamin Intan, justru mempertanyakan penyebab goyahnya kerukunan akibat penggunaan kebebasan beragama yang dinilai kelewat batas. Begitu asyiknya umat menikmati kebebasan beragama hingga lupa meletakkannya dalam kerangka kesatuan dan persatuan bangsa. Ia mencontohkan, rumah ibadah yang menempati ruko-ruko apakah benar sebagai bukti dari kebebasan beragama yang kelewat batas.
.
Benyamin memandang bahwa ada alasan rumah ibadah harus menempati ruko-ruko yaitu karena kesulitan membangun rumah ibadah. Ironisnya, dalam masyarakat Pancasila yang katanya begitu religius membangun rumah ibadah jauh lebih sulit daripada membangun panti pijat dan tempat pelacuran”, ungkap Benyamin.
.
Menurutnya, negara itu memerlukan undang-undang untuk menjamin hak sipil untuk kebebasan beragama. Namun sayangnya UU tersebut belum pernah terlihat drafnya.Pada kesempatan yang sama sebagai salah satu pembicara, Ketua PP Muhammadiyah Malik Fajar berpandangan bahwa untuk mewujudkan kerukunan hidup beragama, sangat penting untuk memandang pranata kehidupan beragama yang meliputi pemuka agama tempat ibadah, lembaga pendidikan keagamaan organisasi sosial keagamaan dan lain-lain.
.
Malik menambahkan tentu saja kerukunan hidup beragama tidak bergerak sendiri dan bergerak di ruang vakum. Kerukunan hidup beragama berinteraksi dengan kehidupan yang telah berlangsung termasuk kehidupan sosial dan politik, bahkan kebijakan politik yang boleh dikatakan sebagai faktor dominan.
.
Gerakan reformasi, menurut Malik telah mengubah kebijakan politik yang seragam menjadi plural. Sejak era reformasi pranata kehidupan beragama ikut cair dan masuk ke dalam kehidupan berpolitik. Namun kondisi inilah yang mengundang kerisauan para tokoh. (SH/c)
.
Sumber : Sinar Indonesia Baru, 29 Oktober 2007
http://hariansib.com/2007/10/24/keputusan-pemerintah-kerap-jadi-batu-sandungan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar