[JAMBI] Gereja-gereja dan lembaga adat Batak semakin tak mampu mengendalikan kasus-kasus perceraian di tengah kehidupan warganya. Indikasi ini nampak dari meningkatnya kasus perceraian di kantong-kantong komunitas umat Kristen dan masyarakat Batak hingga 25 persen.
Peranan gereja dan lembaga adat Batak semakin lemah mencegah dan mengatasi kasus perseraian karena warganya cenderung mengabaikan nilai-nilai agama dan adat dalam kehidupan keluarga.
Demikian dikatakan Ketua Umum Kerukunan Masyarakat Batak (Kerabat) Indonesia, Henry P Panggabean, pada seminar bertajuk "Budaya Batak di Tengah Gereja", di Kota Jambi, Sabtu (5/7). Praeses Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Distrik XXV Jambi, Pdt R Lumban Raja STh, turut menjadi berbicara pada seminar yang diikuti sekitar 100 tokoh budaya Batak Jambi itu.
Menurut Panggabean, ikatan perkawinan di kalangan umat Kristen dan masyarakat Batak belakangan ini semakin rapuh karena kalangan generasi mudanya tidak lagi menghargai adat dan agama dalam kehidupan keluarga mereka.
Keluarga baru yang terbentuk di kalangan kaum muda kurang menghargai nilai-nilai sakral perkawinan karena pemahaman terhadap makna adat dan agama semakin merosot.
Dia menjelaskan, salah satu fakta kerapuhan keluarga di kalangan komunitas umat Kristen dan masyarakat Batak ini nampak dari tingginya angka perceraian.
Kasus perceraian di Tapanuli Utara saat ini mencapai 20 persen. Kemudian kasus perceraian di Kabupaten Karo mencapai 25 persen. Keadaan ini semakin mengarah kepada gejala kehidupan keluarga di lingkungan komunitas Kristen Sulawesi Utara yang tingkat perceraiannya mencapai 65 persen.
Tingginya kasus perceraian di kantong-kantong umat Kristen dan masyarakat adat ini, katanya, karena adat tidak digunakan lagi sebagai salah satu pondasi memperkokoh ikatan perkawinan.
Agama juga hanya dianggap sebagai formalitas hidup, sehingga kehidupan gerejawi di tengah keluarga ditinggalkan. Keadaan ini sudah mengarah ke gaya hidup masyarakat Eropa yang memiliki angka perceraian hingga 75 persen.
"Sekitar 30 persen pendeta di lingkungan HKBP tidak memahami adat Batak. Hal ini membuat kegiatan pelayanan gereja semakin mengabaikan adat. Akibatnya, umatnya juga kurang menghargai adat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam perkawinan," ucapnya.
Bertele-tele
Sementara itu, Lumban Raja mengatakan, masyarakat Batak cenderung meninggalkan adat-istiadat, termasuk adat perkawinan karena pelaksanaan adat tersebut terlalu bertele-tele. Rangkaian adat yang membosankan ini perlu dipersingkat agar tidak semakin ditinggalkan.
Menurut Lumban Raja, adat-istiadat perkawinan Batak sangat mendukung gereja dalam membangun keutuhan dan keharmonisan keluarga. Karena itu, tokoh-tokoh adat perlu membuat rangkaian pelaksanaan adat yang ringkas tanpa mengurangi nilai sakralnya.
Hal ini penting agar masyarakat Batak tidak melupakan makna adat dalam pembangunan keluarga bahagia dan sejahtera. [141]
Sumber : Suara Pembaruan, Senin, 7 Juli 2008
Peranan gereja dan lembaga adat Batak semakin lemah mencegah dan mengatasi kasus perseraian karena warganya cenderung mengabaikan nilai-nilai agama dan adat dalam kehidupan keluarga.
Demikian dikatakan Ketua Umum Kerukunan Masyarakat Batak (Kerabat) Indonesia, Henry P Panggabean, pada seminar bertajuk "Budaya Batak di Tengah Gereja", di Kota Jambi, Sabtu (5/7). Praeses Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Distrik XXV Jambi, Pdt R Lumban Raja STh, turut menjadi berbicara pada seminar yang diikuti sekitar 100 tokoh budaya Batak Jambi itu.
Menurut Panggabean, ikatan perkawinan di kalangan umat Kristen dan masyarakat Batak belakangan ini semakin rapuh karena kalangan generasi mudanya tidak lagi menghargai adat dan agama dalam kehidupan keluarga mereka.
Keluarga baru yang terbentuk di kalangan kaum muda kurang menghargai nilai-nilai sakral perkawinan karena pemahaman terhadap makna adat dan agama semakin merosot.
Dia menjelaskan, salah satu fakta kerapuhan keluarga di kalangan komunitas umat Kristen dan masyarakat Batak ini nampak dari tingginya angka perceraian.
Kasus perceraian di Tapanuli Utara saat ini mencapai 20 persen. Kemudian kasus perceraian di Kabupaten Karo mencapai 25 persen. Keadaan ini semakin mengarah kepada gejala kehidupan keluarga di lingkungan komunitas Kristen Sulawesi Utara yang tingkat perceraiannya mencapai 65 persen.
Tingginya kasus perceraian di kantong-kantong umat Kristen dan masyarakat adat ini, katanya, karena adat tidak digunakan lagi sebagai salah satu pondasi memperkokoh ikatan perkawinan.
Agama juga hanya dianggap sebagai formalitas hidup, sehingga kehidupan gerejawi di tengah keluarga ditinggalkan. Keadaan ini sudah mengarah ke gaya hidup masyarakat Eropa yang memiliki angka perceraian hingga 75 persen.
"Sekitar 30 persen pendeta di lingkungan HKBP tidak memahami adat Batak. Hal ini membuat kegiatan pelayanan gereja semakin mengabaikan adat. Akibatnya, umatnya juga kurang menghargai adat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam perkawinan," ucapnya.
Bertele-tele
Sementara itu, Lumban Raja mengatakan, masyarakat Batak cenderung meninggalkan adat-istiadat, termasuk adat perkawinan karena pelaksanaan adat tersebut terlalu bertele-tele. Rangkaian adat yang membosankan ini perlu dipersingkat agar tidak semakin ditinggalkan.
Menurut Lumban Raja, adat-istiadat perkawinan Batak sangat mendukung gereja dalam membangun keutuhan dan keharmonisan keluarga. Karena itu, tokoh-tokoh adat perlu membuat rangkaian pelaksanaan adat yang ringkas tanpa mengurangi nilai sakralnya.
Hal ini penting agar masyarakat Batak tidak melupakan makna adat dalam pembangunan keluarga bahagia dan sejahtera. [141]
Sumber : Suara Pembaruan, Senin, 7 Juli 2008
Sebenarnya saya lebih setuju kalau perceraian terjadi karena kedua mulai lunturnya nilai nilai keagamaan, bukan karena tidak menghargai adat.Adat Batak, sepertinya tidak mengajarkan komunikasi 2 arah suami istri. Suami adalah kepala dan istri tidak punya banyak hak bicara, itu kalau kita mau benar2x mengacu kepada adat Batak. Mungkin kt bisa liat contohnya dalam kehidupan opung kita, ato orangtua kita.Seiring dgn berubahnya zaman, maka nilai pun berubah, maka persamaan hak suami istri serta komunikasi lebih berperan dalam kelanggengan rumah tangga, sesuatu yg mungkin kecil porsinya dalam kehidupan rumah tangga 'murni adat Batak'.Mungkin pengetahuan saya terbatas, tp coba beritahu saya, adakah nilai adat batak yg mencegah terjadinya perceraian. Saya bicara pencegahan, bukannya hukuman, seperti misalnya dikeluarkan dari gereja, untuk wanita dihakimi secara sosial dan sebagai bentuk pengabdian wanita yg harus patuh apapun perlakuan suami atau keluarganya yg kurang mengena.Apakah ada cerita atau nasihat dr suku kita, yg menganjurkan utk berpikir jernih sebelum memilih pasangan, dan menghargai pendapat pasangan?coba tolong cerahkan saya.....
BalasHapusJd saya lebih merasa, perceraian itu lebih kepada faktor agama, dimana nilai nilai menghormati suami atau istri, kasih, dan penghargaan itu memang jelas tertulis.Jadi bukan karena pendeta kurang memahami adat, tp mungkin karena pesannya ketika menikahkan dua anak manusia kurang mengena di hati mempelai. Atau mungkin malah bkn salah pendetanya, tp karena, manusianya terlalu buru buru menikah, tdk siap dan tidak bertanya kepada Tuhan dulu sebelum memutuskan.
Tp ini cuma pendapat saya, orang Batak yg cukup prihatin dengan angka yg tercantum di atas. Saya percaya masih banyak kisah sukses perkawinan, dan saya rasa HKBP masih bisa menjadi pengencang tali pernikahan. Salam sejahtera untuk kita semua