Jumat, 15 Februari 2008

Setelah "Tempo " Terbit

Setelah Tempo edisi 4-10 Februari 2008 terbit, yang memuat gambar Soeharto dan anak-anaknya mirip adegan The Last Supper, majalah dengan slogan "Enak Dibaca dan Perlu" itu kontan menuai reaksi.
.
Perwakilan organisasi Katolik, bukan hirarki gereja, mendatangi majalah yang berkantor di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat itu. Mereka bukan memrotes, tapi meminta penjelasan. Apa motivasi di balik kerja bareng awak majalah yang telah berkali-kali mendapat peringatan, bahkan pernah dibredel itu?
.
Sampul depan Tempo yang menghebohkan itu mirip lukisan The Last Supper atau Jamuan Makan Malam Terakhir karya Leonardo da Vinci, yang melukiskan Yesus berada di tengah meja makan, dikelilingi murid-murid-Nya. Pada saat itulah, Yesus memberikan wejangan terakhir kepada para murid, bahwa kelak, setelah Ia pergi dari dunia ini, mereka harus saling menyinta dan tolong-menolong. Wasiat Yesus pada last supper itulah yang kemudian melahirkan hukum tertinggi bagi orang Kristen: cinta kasih. Slogan Tempo sendiri sebenarnya bagus. Jika saja menjadi napas, dan semangat corporate culture setiap insan yang bekerja di sana, betapa indahnya. Sebab, itulah yang dikehendaki dari setiap media dan jurnalis. Seperti diperingatkan Horatius, pujangga Romawi kuno, bahwa setiap penulis adalah guru moral. Dan media, termasuk media cetak, akhirnya bermuara hanya pada dua ihwal: dulce (indah) dan utile (berguna). Persis slogan Tempo, "Enak Dibaca dan Perlu".
.
Sayangnya, ketika sidang menentukan akan seperti apakah sampul edisi 4-10 Februari, Tempo telah khilaf pada aspek utile (perlu). Pertimbangan pasar agaknya lebih dikedepankan. Hal ini terbukti dari pernyataan mewakili lembaga, bahwa "...Kami minta maaf, namun tidak akan menarik majalah edisi the last supper dari peredaran."
.
Terus terang, Tempo memang enak dibaca. Gaya jurnalismenya yang sastrawi, sering saya pakai sebagai contoh di ruang kuliah. Tulisan ini tak hendak memihak atau menghakimi salah satu pihak. Sekadar memaparkan persoalan, bahwa dalam kerja jurnalistik, ada yang disebut sense of audience, atau nalar khalayak, yang perlu diperhatikan seorang jurnalis. Seorang wartawan boleh pintar dan ini baik. Namun, seorang yang pintar namun tidak bermoral, akan menjadi perusak yang hebat.
.
Ada apa dengan awak Tempo, sehingga dalam edisi The Last Supper alpa mempertimbangkan nalar khalayak? Barangkali pertimbangannya hanya parodi. Barangkali pertimbangannya untuk mendongkrak oplah. Dan sejumlah "barangkali" yang lain. Hanya awak Tempo yang mafhum semua pertimbangan itu!
.
Pengujung tahun 1970-an, ketika waktu itu Tempo satu-satunya majalah berita mingguan terdepan di negeri ini, para wartawan bidang agama telah mencetuskan "10 Pedoman Penulisan Bidang Agama".
.
Pedoman butir 3 "Wartawan menyadari dalam menyajikan tulisan, berita, ulasan dalam bidang agama harus memiliki nalar khalayak (sense of audience) yang tepat, agar mengetahui betul lapisan masyarakat mana yang menjadi sasaran tulisan."
.
Sedangkan butir 4 menyatakan, "Wartawan menyadari bahwa mempersoalkan masalah yang menyangkut khilafiyah, yaitu masalah-masalah yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat di bidang agama dapat mengganggu kerukunan intern umat beragama, karena itu harus dijauhi dalam tulisannya."
.
Kita tidak tahu persis, apakah awak Tempo yang urun rembuk menentukan sampul The Last Supper sudah lahir tahun 1970-an? Ataukah mereka sama sekali tidak pernah dibekali pengetahuan tentang kesepuluh pedoman itu? Jika tidak, dan mereka bukan lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi yang sudah kuliah etika dan filsafat Ilmu Komunikasi, maka kurikulum pelatihan wartawan pemula hendaknya memasukkan etika dan Kode Etik Jurnalistik. Khusus untuk wartawan bidang agama, diberikan lebih mendalam mengenai psychographics and demographic proximity yang wajib memperhatikan check ability serta 10 Pedoman Penulisan bidang Agama. Jika ini dilakukan, niscaya dalam menjalankan kerja jurnalistik, wartawan tidak akan terjerembab melakukan kesalahan fatal yang menyangkut agama. Wartawan akan terasah dan senantiasa bekerja dibimbing sense of audience!
.
Atas Nama Seni
.
Persoalannya kemudian ialah, apakah bisa seni dijadikan alasan modifikasi mahakarya seni The Last Supper? Bisakah lukisan Leonardo da Vinci, berdiri sendiri, semata-mata benda profan?
.
Tidak! Di sini tidak bisa dipisahkan antara isi (objek lukisan/pesan) dan media (lukisan, cat, dan kanvas). Memang lukisan itu karya tangan manusia, namun ia adalah simbol kesakralan bagi umat Kristen. Objeknya yang sakral, lalu disandingkan dengan ihwal yang profan. Di sinilah sentimentalitas keagamaan itu muncul!
.
Di situ pula parodi itu terjadi, seperti diakui Tempo, dan mereka menganggapnya tidak apa-apa. Padahal, mustahil antara lukisan sebagai karya seni berdiri sendiri, lepas dari objeknya.
.
Kedalaman makna karya Da Vinci inilah yang mungkin tidak dipahami. Padahal, bagi orang Kristen, jamuan makan malam terakhir sangat dalam maknanya. Seperti diperingati dan diperagakan pada tiap malam Kamis Putih dalam upacara pembasuhan kaki, pesan penting The Last Supper adalah, supaya tiap orang saling melayani. "Yang besar di antara kamu ialah dia yang menjadi pelayan", demikian pesan terakhir Yesus, sebelum Ia pergi.
.
Sungguh dalam hikmah di balik pesan terakhir itu! Pelayan adalah orang besar. Akal manusia tidak dapat menyelaminya dengan mudah. Tapi, jika ditelisik, benar kata-kata itu. Ambil contoh dalam dunia olahraga dan bisnis. Bukankah orang yang paling banyak melayani, dialah yang menang? Bulutangkis, misalnya, pemain yang banyak melakukan servis (melayani), dia menang. Demikian pula dalam bisnis. Yang berhasil memuaskan pelanggan, dia akan menerima imbalannya.
.
Kini, banyak pesan terakhir pada The Last Supper itu diadaptasi di dunia bisnis dan kepemimpinan. Beredar banyak buku tentang pemimpin yang melayani atau perusahaan yang melayani (pelanggan). Itulah sebabnya, pesan terakhir Yesus kepada para murid lalu dianggap wasiat oleh orang Kristen. Dan lazimnya setiap wasiat, ia akan terus terngiang. Karenanya, dianggap keramat, dan hanya patut diucap dan dibicarakan penuh khidmat, sambil merunduk hormat.
.
Maka melihat sampul Tempo, kita jadi mengerti, mengapa hati sebagian orang jadi miris. Masak iya, Yesus disamakan dengan Soeharto? Emangnya, junjungan kami hanya didudukkan sama rendah dengan manusia biasa? Inilah yang menusuk hati sebagian orang Kristen, sehingga mereka melakukan dialog dan menanyakan duduk perkaranya ke Tempo.
.
Itu pula yang mendorong sejumlah orang Kristen (bukan hirarki gereja), yakni perwakilan dari Forum Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI, Forum Masyarakat Katolik Indonesia, Solidaritas Masyarakat Katolik RI, Perhimpunan Mahasiswa Katolik, Pemuda Katolik, Tim Pembela Kebebasan Beragama, dan Wanita Katolik RI datang ke kantor dan berdialog dengan Tempo. Mereka menanyakan dan ingin mendapat klarifikasi, mengapa Tempo berbuat demikian?
.
Dalam dialog, pimpinan Tempo telah meminta maaf dan mengatakan, pemuatan gambar itu tidak hendak menyinggung siapa pun. Maksud memang tidak menyinggung, tapi faktanya, ada yang tersinggung. Di sini kita masuk pada debat filsafat etika, maksud yang baik harus ditunjukkan dengan cara-cara dan hasil yang baik pula.
.
Senada dengan ini, misalnya, bisakah kita mengatakan waktu hendak mencemplungkan orang ke dasar laut, "Maksud saya kamu tidak mati, hanya bercanda biar Anda bermain-main dengan ombak!" Nyatanya, orang yang kita cemplungkan itu merasa takut dan sakit, dan perlahan-lahan, hingga akhirnya, mati lemas.
.
Setelah edisi The Last Supper terbit, cukupkah Tempo hanya meminta maaf? Selama hampir dua jam perwakilan umat Katolik yang mendatangi kantor Tempo, berdialog dengan jajaran pimpinannya. Dari Tempo, hadir Pemimpin Redaksi Toriq Hadad, Redaktur Eksekutif Wahyu Muryadi, Redaktur Senior Fikri Jufri, dan awak redaksi lainnya. Kedua pihak, yang merugikan dan merasa dirugikan, berdialog.
.
Yang menarik, "Kami hanya mengambil inspirasi dari sebuah gambar yang dilukis Leonardo Da Vinci... Perbedaan tafsir ini kami hormati dan saya sebagai pemimpin Majalah Tempo mohon maaf apabila gambar ini dianggap menistakan umat Kristiani," ujar Toriq Hadad.
.
Agaknya, Tempo tahu betul "kelemahan" orang Kristen dan cerdik memanfaatkannya. No violent, bahkan memaafkan.
.
Tapi, bagaimanapun ini preseden! Jika nanti ada media yang berbuat hal yang sama, cukuplah seperti yang Tempo lakukan. Minta maaf dan persoalan selesai. Tinggal mengatakan, "Kita beda tafsir!"
.
Sumber:
R Masri Sareb Putra
Penulis adalah mantan wartawan, kini dosen mata kuliah Teknik Menulis Berita dan Feature dan Etika Jurnalistik, tinggal di Jakarta
Harian Suara Pembaruan, Jum'at, 15 Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar