Kamis, 07 Februari 2008

Hamatean

1. DULU DAN SEKARANG
.
Kultur Batak pra-kristen memberikan perhatian yang sangat (terlalu?) besar kepada peristiwa kematian. Menurut nenek moyang orang Batak ada berjenis-jenis kematian yang menunjukkan status sosial seseorang (yang terkait erat dengan konsepsi kesuburan/ hagabeon): mati sewaktu kanak-kanak, mati sewaktu remaja/ pemuda (mate ponggol, mate matipul), mati sesudah menikah namun tanpa anak (mate punu), mati sesudah menikah dengan anak masih kecil (mate mangkar), mati sesudah bercucu (mate sari matua), mati sesudah bercucu dari semua anak-anaknya (mate saur matua) dan puncaknya mati sesudah bercicit dan berbuyut (saur matua bulung). Bagi kita orang yang beriman Kristen makna kematian ini adalah sama: yakni akhir hidup di dunia dan jalan untuk menghadap Tuhan. Sebab itu sebagai orang Kristen kita wajib menaruh penghormatan dan kasih yang tinggi juga kepada orang yang mati muda.
.
2. SOLIDARITAS DAN KOMUNALITAS
.
Mengapa kita harus berusaha hadir dalam peristiwa kematian seorang anggota keluarga atau kerabat? Pertama-tama: tentu hendak menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih dulu mati tersebut. Kedua: menunjukkan rasa hormat dan kasih kepada orang yang ditinggalkan. Ketiga: mengingatkan diri kita bahwa suatu saat kelak kita juga harus mati.
.
Secara khusus ritus-ritus atau acara di sekitar kematian merupakan tanda solidaritas (kesetiakawanan) kita dengan orang yang ditinggalkan. Kehadiran seluruh kelompok adat dan mandok hata yang berderet-deret dalam peristiwa kematian juga seharusnya diartikan sebagai tanda solidaritas dengan orang yang sedang berduka.
.
Kehadiran dalam peristiwa kematian adalah suatu tanda solidaritas dan kebersamaan: bahwa seorang yang sedang berduka tidak boleh dibiarkan sendirian menanggung bebannya. Dia harus ditemani dalam kedukaannya. Memang ada umpama pitu batu martindi sada do na tumaon na dokdok. Tetapi beban yang berat itu hendak dikurangi dan dibagi-bagikan kepada banyak orang.
.
3. ULOS TUJUNG DAN SAPUT
.
Kultur Batak mengenal ulos tujung, yaitu ulos yang diberikan hula-hula kepada seorang perempuan yang kematian suami atau menjadi janda. Ulos itu, sesuai namanya, dikerudungkan ke atas kepala si perempuan, sebagai tanda kejandaan atau bahwa “kepalanya sudah terputus” (maponggol ulu). Pada jaman dahulu tidak ada acara membuka tujung sesudah pemakaman (kecuali si janda hendak menikah lagi). Ulos tujung itu selalu dikenakan lagi oleh semua janda dalam even-even kematian yang lain, sehingga sering memberi kesan menggetarkan bagi orang yang melihatnya. Berhubung
sebelum datangnya kekristenan orang Batak masih bersifat poligami (banyak istri) maka di beberapa wilayah ulos tujung tidak diberikan kepada laki-laki yang kematian istri.
.
Sebagai komunitas Kristen-Batak kita dapat menerima tradisi ulos tujung ini sebagai simbol tanggungjawab yang berat (peran orangtua tunggal) yang dibebankan kepada seorang perempuan yang kematian suami. (Bagi perempuan yang sudah lanjut usia dan bercucu biasanya tidak lagi disebut ulos tujung, tetapi ulos sampetua).
.
Selain ulos tujung, kultur Batak juga mengenal ulos saput, yaitu ulos yang diberikan tulang untuk membungkus jenazah keponakannya. Kita komunitas Kristen-Batak sekarang mengartikan ulos saput ini adalah tanda perpisahan atau ungkapan kasih terakhir kalinya dari Tulang kepada bere/ ibaberenya yang sudah meninggal. Namun dalam pemberian ulos saput ini kita harus menyadari bahwa pada hakikatnya orang mati adalah urusan dan tanggungjawab Tuhan dan kita tidak bisa lagi berkomunikasi dengan orang yang sudah mati itu. Tentu saja kita percaya dan mengaku bahwa Kristus lah satu-satunya yang menyelamatkan kita dan membungkus jiwa kita dengan darahNya yang kudus, namun kita boleh saja menerima tanda kasih dari sesama manusia, termasuk tentu dari Tulang.
.
4. ONDA-ONDA, SIJAGARAON / SANGGUL MARATA
.
Kultur Batak menganggap kematian seorang tua yang sudah bercucu (sari matua) dan bercicit (saur matua) sebagai suatu peristiwa besar yang patut disyukuri. Tidak lagi banyak kesedihan di sana. Dalam kematian orangtua tersebut semua keturunannya akan menari (manortor) gembira dengan iringan gondang atau musik tiup (perkembangan kemudian). Kita sebagai orang Kristen bisa menerima tradisi ini dengan beberapa catatan. Iman kekristenan menolak kebiasaan agama lama menimba atau mencedok tuah atau berkat dari orang mati. Sebab itu ketika mangondasi (menari di sekeliling mayat) orang tua kita perlu tetap mengarahkan hati kepada Tuhan Yesus Kristus yang mati dan bangkit itu.
.
Catatan: dalam manortor kita harus mewaspadai agar mengubah simbol-simbol gerakan tubuh sewaktu manortor. Antara lain: jangan menggerakkan tangan dari arah mayat ke diri sendiri ibarat orang menimba atau mencedok air untuk minum yang biasa digunakan oleh orang Batak pra-Kristen sebagai simbol mengambil (mencedok) tuah atau berkat dari orang mati.
.
Sebagai tanda kebesaran dari orang tua yang sudah meninggal dunia biasa dipasang sijagaron atau sanggul marata (mahkota segar) dari daun beringin (simbol kesuburan) dan padi (simbol kekayaan) dll. Sebagai komunitas Kristen-Batak kita harus memberi makna baru kepada sanggul marata ini, yaitu sebagai tanda syukur dan persembahan kepada Tuhan yang telah memberikan umur panjang dan berkat kepada orangtua yang meninggal dunia dan keluarganya. Untuk memperkaya pemahaman itu mungkin dengan menambah simbol salib dan lilin di sanggul marata tersebut yang mengingatkan kita bahwa mahkota kehidupan hanya datang dari Allah dalam Yesus PutraNya kepada orang yang setia dalam imannya (Wahyu 3:11) dan api Roh Kudus yang membaharui hidup.
.
5. MANGONGKAL HOLI DOHOT MANANGKOKHON SARING-SARING
.
Kultur Batak pra-Kristen menganggap salah satu bentuk penghormatan kepada orangtua atau leluhur adalah dengan meninggikan posisi tulang-belulang (saring-saring) mereka di atas tanah, khususnya ke bukit yang tinggi dan batu yang keras. Panangkokhon saring-saring tu dolok-dolok na timbo tu batu na pir. Peninggian tulang-belulang ini biasanya dilakukan melalui upacara besar.
.
Ruhut Parmahanion Paminsangon (RPP) atau Hukum Penggembalaan dan Siasat HKBP mengatakan bahwa penggalian tulang-belulang (mangongkal holi) dimungkinkan karena beberapa alasan:
.
1. Kerusakan kuburan karena dimakan usia atau faktor alam (banjir, longsor).
.
2. Penggusuran kuburan karena pembebasan lahan untuk pembangunan jalan, waduk, industri dll.
.
3. Penyatuan tulang-belulang keluarga yang kuburannya terpisah-pisah.
.
Majelis Gereja harus mengetahui dan aktiv terlibat dalam acara penggalian tulang-belulang mulai dari menggali, menyimpan hingga memasukkan ke tempat yang baru. Bila lokasi antara kuburan yang lama dan baru berjauhan, maka tulang-belulang harus disimpan di gereja. Dalam proses menggali atau memasukkan tulang-belulang itu tidak boleh diiringi tortor dan gondang serta musik. Juga tidak berjalan Agenda Pemakaman.
.
Majelis harus mengawasi tidak ada yang manortori, meratapi, memasukkan tulang-belulang ke ulos dan ampang/ piring, memberi sirih atau makanan, atau memasukkan batang pisang kelubang bekas penggalian.
.
6. TUGU
.
Gereja HKBP memang tidak melarang secara tegas anggota jemaat membangun tugu penghormatan kepada nenek moyang atau persatuan keluarga (marga, ompu) namun mengingatkan jemaat bahwa pembangunan tugu itu kurang berdampak bagi pembangunan kehidupan iman maupun ekonomi. Sebagai gantinya gereja HKBP menganjurkan jemaat membangun tugu yang fungsional atau hidup, seperti: sekolah, perpustakaan, poliklinik, jembatan, koperasi, komisi beasiswa dll.
.
Gereja juga mengajak jemaat untuk selalu mengingat peristiwa kubur kosong karena Tuhan Yesus Kristus sudah bangkit dari antara orang mati. Tuhan ada di tengah-tengah realitas kehidupan. Kita juga tahu bahwa penampakan Yesus yang bangkit selalu di tengah kehidupan. Bahkan Maria Magdalena berjumpa dengan Yesus setelah ia membelakangi kubur kosong! Selanjutnya agar warga jemaat lebih dulu menyatakan kesatuan dalam Kristus dan Roh Kudus daripada kesatuan marga, luat, ompu dll.
.
7. ZIARAH
.
Kita harus mengkritisi tradisi berziarah dan membersihkan kuburan di kalangan komunitas Kristen-Batak. Iman kita mengatakan ada jurang yang tidak terseberangi yang memisahkan orang yang hidup dengan yang mati. Sebab itu kekristenan menolak setiap bentuk usaha untuk berhubungan kembali dengan orang mati, misalnya: memberi makan, meminta petunjuk, memohon berkat dari orang yang sudah mati tersebut. Kita sebaiknya menyadari kuburan bukanlah tempat yang ideal untuk berdoa. Tempat berdoa yang paling kondusif adalah rumah dan gereja. Tanda penghormatan kita kepada orangtua yang sudah meninggal bukanlah terutama membangun megah atau sering mengunjungi kuburannya tetapi dengan menghayati hidup yang benar dan baik sesuai firman Tuhan dan teladannya.
.
8. PENGAKUAN IMAN HKBP
.
Konfessi HKBP pasal 16 menyatakan: Kita percaya dan menyaksikan bahwa manusia satu kali mengalami kematian dan sesudah itu penghakiman. (Ibrani 9:27). Manusia yang telah mati itu beristirahat dari seluruh pekerjaannya (Wahyu 14:13). Yesus Kristus adalah Tuhan orang yang hidup maupun mati. Bila kita mengenang orang yang sudah meninggal, sebetulnya kita hendak menyadarkan diri kita sendiri akan ajal atau akhir hidup kita dan untuk meneguhkan pengharapan kita akan persekutuan orang-orang percaya dengan Allah serta untuk menguatkan hati kita berjuang dalam realitas hidup ini. (Wahyu 7:9-17). Dengan ajaran ini kita menolak dan melawan ajaran animisme yang mengatakan bahwa roh-roh (tondi) orang yang sudah mati masih dapat berhubungan atau berinteraksi dengan manusia. Kita juga menolak ajaran yang mendoakan orang yang sudah mati. Sebab orang yang sudah mati menjadi wewenang dan urusan Tuhan.
.
Oleh: Pdt Daniel Taruli Asi Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar