Kamis, 24 Januari 2008

Darah Batak dan Jiwa Protestan

1. INJIL DATANG KE TANAH (JIWA BATAK)
.
BERABAD-ABAD suku bangsa Batak hidup terisolasi di Tanah Batak daerah bergunung-gunung di pedalaman Sumatera Bagian Utara. Pada waktu yang ditentukanNya sendiri, Allah mengirim hamba-hambaNya yaitu para missionaries dari Eropah untuk memperkenalkan INJIL kepada kakek-nenek (ompung) dan ayah-ibu kita yang beragama dan berbudaya Batak itu. Mereka pun menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruslamat. Mereka tidak lagi bergantung kepada dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang yang mati tetapi beriman kepada Allah Tritunggal (Bapa, Anak dan Roh Kudus) yang hidup. Mereka berpindah dari gelap kepada terang, dari keterbelakangan kepada kemajuan, dan terutama dari kematian kepada kehidupan yang kekal. Injil telah datang
dan merasuk ke Tanah (baca: jiwa) Batak!
.
2. MENERIMA INJIL DAN TETAP BATAK
.
Namun penerimaan kepada Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Juruslamat tidaklah membuat warna kulit kakek-nenek kita berubah dari “sawo matang” menjadi “putih” (bule), atau mengubah rambut mereka yang hitam menjadi pirang. Mereka tetap petani padi dan bukan gandum, memakan nasi dan bukan roti, hidup di sekitar danau Toba dan bukan di tepi sungai Rhein. Penerimaan Kristus itu juga tidak mengubah status kebangsaan mereka dari “Batak” menjadi “Jerman”. Sewaktu menerima Injil dan dibabtis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus kakek-nenek dan ayah-ibu kita tetaplah tinggal Batak dan hidup sebagai masyarakat agraris Sumatera dengan segala dinamika dan pergumulannya. Para missionaries itu juga tidak berusaha mencabut kakek-nenek dan ayah-ibu kita yang Kristen itu dari kebatakannya dan kehidupan sehari-harinya. Bahkan mereka bersusah-payah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak agar kakek-nenek kita dapat mengerti dan menghayati Firman Tuhan itu dengan baik sekali. Selanjutnya melatih mereka memuji dan berdoa kepada Kristus yang baru mereka kenal itu juga dengan bahasa Batak (baca: bukan Inggris atau Yahudi).
.
3. INJIL DAN KOMUNITAS BATAK MODEREN
.
Injil itu kini juga sampai kepada kita sekarang. Sebagaimana kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu kita sekarang pun menerima dan mengakui Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Juruslamat, Anak Allah yang hidup. Melalui iman kepada Kristus itulah kita menerima hidup baru yang kekal, pengampunan, berkat, damai sejahtera Allah dan Roh Kudus. (Yoh 3:16). Sama seperti kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu, kita yang sekarang pun mengalami bahwa babtisan dan kekristenan tidaklah mengubah warna kulit kita dari sawo matang menjadi putih. Juga tidak mengubah kita dari Batak-Indonesia menjadi Eropah-Amerika. Sebagai pengikut Kristus rupanya kita tidak harus menjadi orang yang berbahasa dan berbudaya lain. Tidak ada bahasa dan budaya atau status social tertentu yang mutlak menjamin kita lebih dekat kepada Kristus. (Gal 3:28) Tidak ada juga bahasa yang menghalangi kita datang kepadaNya.
.
4. FIRMAN MENJADI MANUSIA
.
Firman telah menjadi manusia sama dengan kita dan tinggal di antara kita (Yoh1:14). Itu artinya Itu dapat diartikan bahwa Firman itu juga telah menjadi manusia Batak dan hidup diantara kita orang yang berjiwa dan berkultur Batak juga. Sebab itu tidak ada keragu-raguan kita untuk menyapa, memuji dan berdoa kepada Allah dengan bahasa, idiom, terminologi, simbol, ritme, corak dan seluruh ekspressi kultur Batak (termasuk Indonesia dan modernitas) kita Mengapa? Sebab Tuhan Yesus Kristus lebih dulu datang menyapa kita dengan bahasa Batak yang sangat kita pahami dan hayati.
.
5. DAHULU DAN SEKARANG
.
Bagaimanakah kita menyikapi tortor, gondang dan ulos Batak sebagai orang Kristen? Memang harus diakui bahwa pada awalnya – jaman dahulu – tortor dan gondang adalah merupakan ritus atau upacara keagamaan tradisional Batak yang belum mengenal kekristenan. Harus kita akui dengan jujur bahwa leluhur kita yang belum Kristen menggunakan seni tari dan musik tortor dan gondang itu untuk menyembah dewa-dewanya dan roh-roh, selain membangun kebersamaan dan komunalitas mereka. Disinilah kita sebagai orang Kristen (sekaligus Batak-Indonesia) harus bersikap bijaksana, jujur, dan hati-hati serta kreatif. Kita komunitas Kristen Batak sekarang mau menerima seni tari dan musik Tortor dan Gondang Batak warisan leluhur pra kekristenan itu namun dengan memberinya makna atau arti yang baru. Tortor dan gondang tidak lagi sebagai sarana pemujaan dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang tetapi sebagai sarana mengungkapkan syukur dan sukacita kepada Allah Bapa yang menciptakan langit dan bumi, Tuhan Yesus Kristus yang menyelamatkan kita dari dosa, dan Roh Kudus yang membaharui hidup dan mendirikan gereja. Bentuknya mungkin masih sama namun isinya baru. Ini mirip dengan apa yang dilakukan gereja purba dengan tradisi pohon natal. Pada awalnya pohon terang itu adalah tradisi bangsa-bangsa Eropah yang belum mengenal Kristus namun kemudian diberi isi yang baru, yaitu perayaan
kelahiran Kristus. Begitu juga dengan tradisi telur Paskah, Santa Claus dll.
.
6. MENGACU KEPADA ALKITAB
.
Dalam Alkitab kita juga pernah menemukan problematika yang sama. Di gereja Korintus pernah ada perdebatan yang sangat tajam apakah daging-daging sapi yang dijual di pasar (sebelumnya dipersembahkan di kuil-kuil) boleh dimakan oleh orang Kristen. Sebagian orang Kristen mengatakan “boleh” namun sebagian lagi mengatakan “tidak”. Rasul Paulus memberi nasihat yang sangat bijak. “Makanan tidak mendekatkan atau menjauhkan kita dari Tuhan. Makan atau tidak makan sama saja.” (I Kor 8:1-11). Keadaan yang mirip juga terjadi di gereja Roma: apakah orang Kristen boleh memakan segalanya. (I Kor 14-15). Rasul Paulus memberi nasihat “Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (I Kor 14:17). Kita boleh menarik analogI dari ayat-ayat ini untuk persoalan tortor dan gondang dan juga ulos. Benar bahwa tortor dan gondang dahulu dipakai untuk penyembahan berhala, namun sekarang kita pakai untuk memuliakan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus.. Selanjutnya: kita sadar bahwa kekristenan bukanlah soal makanan, minuman, jenis tekstil atau musik, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus.
.
Nasi sangsang atau roti selai tidak ada bedanya di hadapan Tuhan. Tenunan ulos Batak dengan batik Jawa atau brokart Prancis sama saja nilainya di hadapan Kristus. Taganing atau orgel adalah sama-sama alat yang tidak bernyawa dan netral. keduanya dapat dipakai memuliakan Allah (atau sebaliknya bisa juga untuk menghinaNya).
.
7. MENGGARAMI DAN MENERANGI BUDAYA
.
Persoalan sesungguhnya adalah: bagaimana sesungguhnya hubungan antara iman Kristen dan budaya. Dalam Matius 5:13-16 Tuhan Yesus menyuruh orang Kristen untuk menggarami dan menerangi dunia. Itu artinya Tuhan Yesus menyuruh kita mempengaruhi, mewarnai, merasuki, memperbaiki realitas sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada.
.
Itu artinya sebagai orang Kristen kita dipanggil bukan untuk menjauhkan diri atau memusuhi budaya (tortor, gondang dan ulos) namun untuk menggarami dan meneranginya dengan firman Tuhan, kasih dan kebenaranNya. Bukan membakar ulos tetapi memberinya makna baru yang kristiani. Namun sebaliknya kita juga diingatkan agar tidak terhisab atau tunduk begitu saja kepada tuntutan budaya itu! Agar dapat menggarami dan menerangi budaya (tortor, gondang dan ulos dll) kita tidak dapat bersikap ekstrim: baik menolak atau menerima secara absolut dan total. Kita sadar sebagai orang Kristen bahwa kita hanya tunduk secara absolute kepada Kristus dan bukan kepada budaya Sebaliknya kita juga sadar bahwa sebagai orang Kristen (di dunia) kita tidak dapat mengasingkan diri dari budaya. Lantas bagaimana? Disinilah pentingnya membangun sikap kreatif dan kritis dalam menilai hubungan iman Kristen dan budaya Batak itu, termasuk tortor dan gondang serta ulos. Mana yang baik dan mana yang buruk? Mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus diubah? Mana yang relevan dengan kekristenan, Indonesia dan modernitas dan mana yang tidak lagi relevan?
.
8. TORTOR DAN GONDANG KRISTIANI
.
Kita akui jujur sebelum datangnya kekristenan tortor dan gondang adalah sarana untuk meminta kesuburan (sawah, ternak, dan manusia), menolak bala dan atau menghormati dewa-dewa dan roh nenek moyang. Bagi kita orang Kristen tortor dan gondang bukanlah sarana membujuk Tuhan Allah agar menurunkan berkatNya, namun salah satu cara kita mengekspressikan atau menyatakan syukur dan sukacita kita kepada Allah Bapa yang kita kenal dalam Yesus Kristus dan membangun persekutuan sesama kita. Selanjutnya sebelum datangnya kekristenan gondang dianggap sebagai reflektor atau yang memantulkan permintaan warga kepada dewa-dewa. Bagi kita yang beriman Kristen gondang itu hanyalah alat musik belaka dan para pemainnya hanyalah manusia fana ciptaan Allah. Kita dapat menyampaikan syukur dan atau permohonan kita kepada Allah Bapa tanpa perantara atau reflektor kecuali Tuhan Yesus Kristus. Dahulu bagi nenek moyang kita sebelum kekristenan, tortor dan gondang, sangat terikat kepada aturan-aturan pra-kristen yang membelenggu: misalnya wanita yang tidak dikaruniai anak tidak boleh manortor dengan membuka tangan. Bagi kita yang beriman Kristen sekarang, tentu saja semua orang boleh bersyukur dan bersukacita di hadapan Tuhannya termasuk orang yang belum atau tidak menikah, belum atau tidak memiliki anak, belum atau tidak memiliki anak laki-laki. Semua manusia berharga di mata Tuhan dan telah ditebusNya dengan darah Kristus yang suci dan tak bernoda (I Pet 1:19).
.
Sumber :
Pdt. Daniel TA Harahap
http://rumametmet.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar