Selasa, 14 Agustus 2007

Dina Diperkosa!

DINA DIPERKOSA!
Dasar : Kejadian 34:1-31
(lihat alkitab online: http://www.bit.net.id/SABDA-WEB/)

1. Seorang gadis muda bernama Dina diperkosa ketika sedang bertandang ke tempat teman-temannya perempuan di kampung sebelah. Namun si pemerkosa yang bernama Sikhem jatuh cinta kepada Dina dan menginginkan dia menjadi istrinya. Dia pun melapor kepada ayahnya agar mendatangi ayah si anak perempuan. Yakub, sang ayah, tidak memberi keputusan dan menunggu anak-anak laki-lakinya. Namun mereka, terutama Simeon dan Lewi, mengamuk mendengar penodaan atau pencemaran saudara perempuannya. Mereka pun merancang tipu untuk membalaskan dendamnya. Mereka membuat alasan tidak dapat menerima lamaran keluarga Sikhem berhubung adat dan agama mereka beda. Keluarga besar Yakub disunat dan mereka hanya dapat menerima jika keluarga besar Hemor (ayah si pemerkosa) juga mau disunat. Anehnya Hemor dan anaknya Sikhem serta semua laki-laki kampungnya mau menerima permintaan itu. Mereka semua pun disunat. Namun pada hari ketiga, saat mereka masih kesakitan karena bagian atas kulit alat kelaminnya dikerat, datanglah kedua bersaudara Simeon dan Lewi menyerang dan membunuh mereka semua, menjarah semua harta benda mereka, termasuk para perempuan dan anak-anak.

2. Itu adalah kisah kuna yang terjadi ribuan tahun lalu di Palestina yang dicatat dalam Alkitab yang menjadi Kitab Suci bagi gereja sepanjang jaman. Bagi kita orang-orang moderen dan kristen, selain soal sunat, ada beberapa kebiasaan atau adat pada masa kuna itu yang tidak lagi kita bisa terima atau pertahankan.

Pertama: pemahaman bahwa perempuan atau seksualitas perempuan adalah properti milik laki-laki. Adat Yahudi dan juga banyak suku di Indonesia (termasuk Batak) seorang perempuan yang belum menikah adalah milik ayahnya atau marga ayahnya, dan seorang perempuan yang sudah menikah adalah milik suami atau marga suaminya. Jika seorang gadis dilecehkan atau diperkosa maka permintaan maaf dan ganti rugi harus disampaikan bukan kepada si korban tetapi kepada ayahnya, dan jika seorang istri yang dilecehkan maka maaf dan ganti rugi harus disampaikan bukan kepada korban tetapi kepada suaminya. Mengapa? Sebab pelecehan atau penyerangan seksual kepada perempuan dianggap gangguan atau pencurian properti. Ini sudah tidak dapat kita terima lagi. Pemahaman moderen dan kekristenan perempuan adalah milik dirinya sendiri dan milik Tuhannya dan bukan milik orang lain. Sebab itu jika ada kasus penyerangan seksual kepada perempuan, maka permohonan maaf dan ganti rugi harus disampaikan kepada si perempuan yang jadi korban. Penyelesaian perkara harus mengacu pertama dan terutama kepada kepentingan, penyembuhan dan pemulihan, harga diri, nama baik dan masa depan si korban!

Selanjutnya baik kita sadari bahwa pemahaman perempuan sebagai properti milik ayah atau suami ini memiliki konsekuensi etis yang sangat serius. Perempuan yang tidak memiliki ayah atau saudara laki-laki, atau suami, akan dianggap sebagai "bukan milik siapa-siapa" atau "milik bersama" yang bebas diperlakukan apa saja. Apalagi jika perempuan itu tidak bermarga. Padahal pelecehan tidak boleh dilakukan kepada siapapun juga. Memperkosa seorang perempuan Batak Kristen sama jahat dan kejinya dengan memperkosa seorang perempuan bukan Batak bukan Kristen!

Kedua: sikap marjinalisasi perempuan. Dalam kisah pemerkosaan Dina yang tercatat dalam Alkitab itu kita tidak mendengar sama sekali suara Dina, keluhan atau kesaksian atau pendapatnya. Dina bungkam dan absen dalam cerita itu. Dina hanyalah menjadi objek dan korban. Pertama-tama dia menjadi objek dan korban nafsu berahi Sikhem, dan selanjutnya menjadi objek kebringasan dan kebrutalan saudara laki-lakinya.Namun harus kita sadari bahwa perempuan yang korban bukan hanya Dina, tetapi juga perempuan-perempuan dan anak-anak dari keluarga besar Hemor yang dijarah oleh Simeon dan Lewi. Jika Dina (dan perempuan2 keluarga Sikhem yang menjadi objek balas dendam saudara Dina) diijinkan berbicara dalam kasus pemerkosaan terhadap dirinya, tentulah kita akan mendengar suara yang lain tentang bagaimana kasus-kasus semacam ini harusnya diatasi.

Inilah yang terjadi sepanjang sejarah. Dalam banyak kasus penyerangan seksual maka perempuan seringkali hanya menjadi objek dan korban yang bungkam. Pertama menjadi korban karena nafsu jahat si pemerkosa, kemudian menjadi korban karena kemarahan keluarganya, dan sekarang seringkali menjadi korban bulan-bulanan media dan cibiran masyarakat.

Ketiga: pemahaman pemerkosaan sebagai pencemaran atau penodaan. Dalam masyarakat kuno (sampai sekarang) pemerkosaan selalu dianggap sebagai menodai, mencemari atau menajiskan si perempuan. Itulah sebabnya perempuan korban pemerkosaan selalu merasakan dirinya kotor, jorok, najis dan hina dan langkah pertama yang biasa dilakukannya adalah mandi membersihkan dirinya dan tanpa sadar menghilangkan barang bukti. (Dalam adat Batak perempuan yang diperkosa harus marpangir atau mandi kembang untuk menyucikan kembali dirinya). Pemahaman ini sebenarnya sangat menghina tubuh perempuan. Pemerkosaan sama sekali tidak mengotori atau menajiskan tubuh perempuan, namun melukainya terutama jiwanya. Tubuh dan jiwa perempuan yang diperkosa tetap bersih dan suci. Yang kotor dan jahat adalah tubuh dan jiwa si pemerkosanya. Sebab itu kita tidak boleh lagi menyebut pemerkosaan sebagai penodaan atau menodai. Pemerkosaan adalah pemerkosaan.

Berkaitan dengan hal di atas korban pemerkosaan selalu merasa malu. Bahkan sangat atau terlalu malu. Tidak melakukan kesalahan bahkan menjadi korban tetapi merasa malu. Padahal yang seharusnya malu dan dipermalukan adalah si pelaku. Dan dia biasanya memendam rasa malu ini dan karena itu semakin menyulitkan penyembuhannya. Ini adalah pekerjaan rumah komunitas kita: bagaimana caranya agar korban2 pemerkosaan tidak merasa malu, berdiri dengan kepala tegak, dan memiliki keyakinan diri yang sangat kuat. Sebaliknya: bagaimana caranya agar para peleceh dan pemerkosa dihukum? (biarlah dia bertobat dalam penjara).

4. Lantas apakah pesan kepada gereja dan masyarakat moderen melalui kisah tragis pemerkosaan Dina yang menyebabkan banyak perempuan menderita dan laki-laki tidak bersalah mati?

PERTAMA: TUHAN MENGAJAK KITA MEMBANGUN HUBUNGAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI YANG SEHAT DAN BENAR.

Ini adalah PR (pekerjaan rumah) bagi komunitas kita Kristen-Batak. Mengapa? Sebab komunitas kita sampai sekarang masih menganggap seks sebagai sesuatu yang tabu (tidak boleh dibicarakan terbuka dan formal). Apa akibatnya? Berhubung seks jarang atau tidak pernah dibicarakan secara terbuka dan mendalam banyak orang tidak tahu benar-salah, baik-buruk, atau pantas-tidak pantas dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Dahulu mungkin hal ini tidak terlalu masalah, sebab adat lama memisahkan laki-laki dan perempuan yang tidak menikah. Pada jaman sekarang hampir tidak ada lagi pemisahan ruang berdasarkan jenis kelamin (kecuali toilet umum), laki-laki dan perempuan satu ruangan di kelas kampus, laboratorium, proyek, kamp, gereja, bus, kereta api dan lain-lain. Jika kita tidak serius mempelajari etika seksual atau moralitas hubungan laki-laki dan perempuan tentu penyimpangan akan sering terjadi.

Alkitab menyebutkan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan setara (Galatia 3:28) sebab keduanya sama-sama citra Allah (Kejadian 1:27). Kita dipanggil saling menghormati dan saling mengasihi. Baik laki-laki atau perempuan adalah pribadi yang mulia dan terhormat karena itu dipanggil untuk bekerjasama membangun kehidupan yang adil dan menyejahterakan semuanya.

KEDUA: TUHAN MENGAJAK KITA BELAJAR MENGGUNAKAN CARA-CARA NON KEKERASAN UNTUK MENCAPAI TUJUAN ATAU MENYELESAIKAN MASALAH. Sikhem dan Simeon-Lewi sama-sama menggunakan kekerasan. Yang satu menggunakan kekerasan untuk mewujudkan keinginannya mendapatkan perempuan. Yang dua lagi menggunakan kekerasan untuk mengungkapkan kemarahan dan dendamnya karena saudara perempuannya. Celakanya: sejumlah perempuan lain, anak-anak dan laki-laki yang tidak bersalah jadi korban. Di sini kita belajar bahwa kekerasan selalu melahirkan kekerasan baru. Dan kekerasan tak pernah menyelesaikan masalah.

Selama setahun terakhir saya menerima cukup banyak email yang mengungkapkan kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga kristen (sebagian bahkan kekerasan dalam masa berpacaran atau bertunangan!). Menurut saya sebagian kekerasan ini diakibatkan ketidakseimbangan hubungan laki-laki dan perempuan. Pada jaman dahulu perempuan Batak jelas-jelas menjadi sub-ordinat laki-laki dan kerena itu cenderung menerima saja kekerasan yang dialaminya sebagai "nasib" atau "turpuk". Namun pada jaman sekarang, perempuan Batak tidak lagi menerima dirinya sebagai sub-ordinat atau pesuruh laki-laki, tetapi sebagai pribadi yang bebas dan otonom. Karena itu bila terjadi kekerasan, mereka mulai melawan dan memberontak. Apalagi banyak perempuan Batak sekarang sudah berpendidikan dan berpenghasilan, sehingga tidak lagi merasa tergantung secara finansial kepada suaminya (sebab itu istilah pardijabu atau pardihuta harus diganti!). Belajar dari banyak kasus, saya berkesimpulan bahwa cukup banyak laki-laki Batak yang sebenarnya belum siap menerima fakta bahwa istrinya "maju" apalagi lebih maju dibandingkan dirinya, dan karena itu menggunakan kekerasan merem atau menstop kemajuan istrinya (atau sekadar menunjukkan dia berkuasa. oala). Dan kekerasan itu bukan hanya tidak menyelesaikan masalah tetapi memperburuk keadaan.

Khusus kepada para gadis (juga pemuda?) yang mengalami kekerasan dari pacarnya, saran saya sebagai pendeta: putuskan hubungan segera! Tinggalkan dia. Biar dia bertobat dulu dan pergi ke dokter ahli ilmu jiwa. :-)

Jika tidak dengan kekerasan lantas dengan apa kita mewujudkan keinginan atau menyelesaikan masalah? Pertama: dengan percakapan atau dialog. Ya, kita harus belajar berdialog lagi, baik untuk mewujudkan keinginan-keinginan kita maupun menyelesaikan masalah. Kedua: berdasarkan hukum. Bagaimana pun tak sempurnanya hukum di negeri ini akan masih lebih baik menggunakannya ketimbang membuat hukum sendiri dan mengangkat diri sendiri menjadi hakim. Terakhir kita harus mengembalikan moral dan etika ke dalam hidup kekristenan, kebatakan, keindonesiaan dan kemodernan kita.

Pdt Daniel T.A. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar