·

Rabu, 30 Januari 2008

Soeharto dan HKBP

Soeharto tutup usia! Begitulah headline di beberapa siaran televisi pada hari Minggu, 27 Januari 2008. Dan terus berlanjut pada esok harinya, Senin 28 Januari 2008, saat pemakamannya di Astana Giri Bangun, Karanganyar, Jawa Tengah.
.
HKBP dan Soeharto pernah mengalami pasang surut hubungan, baik itu hubungan mesra, maupun hubungan 'dingin'. Hal itu tidak terlepas dari hubungan antara Ephorus HKBP dengan Maraden Panggabean yang merupakan orang dekat Soeharto.
.
Soeharto pada awal tahun 70-an pernah membuka pesta HKBP di Stadion Senayan. Bahkan lebih meriah daripada pesta parolopolopon 2007 HKBP bulan Oktober 2007 lalu.
.
Soeharto juga pernah membuka Pesta Jubileum 100 tahun di Sipoholon, Tarutung, Sumatra Utara, lengkap dengan pakaian adat Batak.
.

Pak Harto dan Ibu Tien mengenakan pakaian kebesaran adat Batak ketika menghadiri Jubileum 100 tahun HKBP di Sipoholon, Tarutung, Sumatera Utara.

.
Tetapi Soeharto juga pernah mengacak-acak HKBP lewat Jenderal Maraden Panggabean dan orang-orangnya. Soeharto melakukan intervensi terhadap HKBP yang efeknya masih terasa sampai saat ini yang tercermin dari konflik HKBP Bandung, HKBP Pondok Bambu, HKBP Kebayoran, dll. Luar biasa efeknya.
.
Tapi itulah sejarah. HKBP harus belajar dari masa lalu agar HKBP bisa lebih cerdik seperti ular dan tulus seperti dari merpati.
.
blog-hkbp.com
www.blog-hkbp.com

Kamis, 24 Januari 2008

Minyak Urapan

Kita perlu mewaspadai seorang pengkhotbah yang telah membingungkan banyak orang dengan minyak urapannya serta pengalaman-pengalaman yang dikisahkannya, seperti bolak-balik masuk surga, Minyak Urapan, visi neraka, dll. Dalam berbagai pertemuan, saya sering sekali bertemu dengan anggota jemaat yang mengatakan kebingungannya mengenai penggunaan minyak urapan.
.
Pertama, dalam sebuah pembinaan rutin di tempat tertentu, di mana saya berperan sebagai salah satu dari dua pembina, seorang ibu mengisahkan pengalamannya dalam acara perjamuan kudus. Dia mengatakan: "Kok kelihatannya suasana perjamuan kudus menjadi kurang bermakna dan sakral. Orang berebut untuk mengambil roti. Selain itu, orang memasukkan apa yang disebut dengan minyak urapan ke dalam botol-botol kecil dan dibawa ke rumah masing2. Katanya, dengan minyak itu, banyak hal dapat
diselesaikan: penyakit akan hilang, dll.
.
Kedua, beberapa waktu yang lalu seorang ibu bertanya tentang seseorang yang membawa minyak urapan, yang katanya telah didoakan sebelumnya. Minyak urapan tersebut dianggap sanggup menyembuhkan ayahnya yang mengalami penyakit yang sangat parah. Dstnya.
.
Kita harus dengan tegas mengatakan bahwa Perjamuan Kudus atau Minyak Urapan, atau sejenisnya tidak boleh diiklankan dan dipromosikan menjadi semacam jimat ampuh untuk menyembuhkan. Hal itu sungguh menyimpang dari ajaran Alkitab.
.
Di dalam membangun pemahaman dan teologi, kita harus kembali kepada Alkitab. Rasul Paulus telah membahas hal ini secara khusus dalam 1Kor.11:17-34. Hal ini Paulus lakukan karena telah melihat penyimpangan makna perjamuan kudus sebagaimana ditetapkan Tuhan Yesus. Dalam seluruh ayat tersebut di atas, juga dalam seluruh Alkitab PB kita tidak menemukan satupun upacara perjamuan kudus dilakukan untuk tujuan penyembuhan. Lalu apa makna sesungguhnya dari perjamuan kudus? Makna perjamuan yang ditegaskan oleh rasul Paulus di sini adalah peringatan akan penderitaan dan kematian Tuhan Yesus. Paulus mengutip ucapan Tuhan Yesus: "Inilah TubuhKu, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku" (ayat
24b). Selanjutnya Paulus menjelaskan tentang cawan berisi anggur:
.
"¡Kperbuatlah ini setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!" (25).
.
Perjamuan Kudus juga bermakna pemberitaan. Demikianlah kita membaca dalam ayat 26:
.
"Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang".
.
Menjadi pertanyaan penting buat jemaat XXX, apakah jemaat sungguh menghayati makna tersebut? Kalau tidak, Firman Tuhan memberi peringatan yang sangat keras yang patut kita camkan:
.
"Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan" (ayat 27).
.
Itulah sebabnya, kita sedih mendengarkan serta melihat dalam foto yang dimuat dalam majalah mereka bagaimana jemaat berebut menerima roti dan minyak urapan tersebut. Kita juga semakin sedih membaca bagaimana perjamuan itu dimaknakan dalam bulletin mereka. Kita akan mengutip beberapa bagian saja:
.
"Dengan apa Iwan Chandra dibebaskan dari operasi otak? Pertama, karena dia percaya dibalik Perjamuan Kudus. Walaupun dia bukan orang Kristen, datang untuk menerima Perjamuan Kudus" (Bulletin No. 617, 8/10-2000).
.
Dalam bulletin ini juga disebutkan nama Christina. Menarik sekali nama-nama tersebut diulang lagi dalam brosur KKR Natal mereka yang diadakan di Stadion Utama Senayan pada tgl 9-12-2000 yang lalu. Kita dapat menemukan dalam brosur tersebut kalimat berikut:
.
"Iwan Chandra bebas dari operasi otak, karena percaya kuasa di balik Perjamuan Kudus
dan Minyak Urapan¡K",
.
selanjutnya:
.
"Christina bebas dari operasi otak dan pendarahan, sehari menjelang dioperasi PDT X memberikan 3 set Perjamuan Kudus.. Dan dengan Kuasa Minyak Urapan Christina disembuhkan".
.
Saya tidak tahu bagaimana respon Anda membaca kutipan di atas. Tetapi yang jelas hal itu disadari atau tidak telah menyimpangkan iman dan pengharapan orang dari Kristus yang hidup dan berkuasa kepada "kuasa Minyak Urapan". Mungkin ada yang berkata:
.
"Tetapi kenyataannya kan ada juga yang sembuh".
.
Soal sembuh atau tidak bukan itu yang terutama, tapi kebenaran Firman Tuhan harus diberitakan, iman jemaat dibangunkan. Soal penyembuhan, dukun pun dapat menyembuhkan. Saya datang dari daerah yang sangat kuat kuasa gelapnya, dan saya menyaksikan sendiri penyembuhan2 yang dilakukan oleh dukun. Bahkan menyedihkan sekali, karena dukun tersebut memakai ayat-ayat Firman Tuhan juga, memegang salib juga serta mengangkat-angkatnya dalam proses penyembuhan tersebut. Dan lagi, kalau
iman jemaat diserongkan, dari pribadi Kristus kepada kesembuhan, bukankah Setan dan kuasa kegelapan pun akan senang mem-bantunya? Itulah sebabnya saya bersyukur mendengar kesaksian seorang ibu yang sudah divonis dokter mengidap penyakit kanker, tetapi tetap menolak untuk pergi ke kebaktian tersebut untuk disembuhkan. Alasannya menarik untuk disimak:
.
"Saya tidak sejahtera dengan pengajarannya, juga dengan cara mengadakan Perjamuan Kudus yang direndahkan dari maknanya".-
.
Sumber :
Pdt. Mangapul Sagala, DTh
www.mangapulsagala.com

Liturgi HKBP

LITURGI HKBP
Suatu Kajian Terhadap Perkembangan Tata Ibadah Minggu Gereja HKBP Ditinjau dari Segi Pendekatan Teologis
.
I. Pendahuluan
.
Liturgi adalah istilah teologis yang biasanya mengacu kepada ibadah gereja atau tata kebaktian. Kata “liturgi” berasal dari bahasa Yunani leiturgia. Kata leitourgia terbentuk dari akar kata ergon, yang berarti ‘karya’, dan leitos, yang merupakan kata sifat untuk kata benda laos (bangsa). Secara harafiah, leitourgia berarti ‘kerja’ pelayanan yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa. Dalam masyarakat Yunani kuno, kata leitourgia dimaksudkan untuk menunjuk kerja atau sumbangan dari warga masyarakat yang kaya, dan pajak untuk masyarakat atua Negara.
Liturgi merupakan sarana penting untuk menghidupkan dan menguatkan kepercayaan jemaat dan untuk menyinarkan kasih Kristus kepada orang-orang yang belum menjadi anggota jemaat, sehingga mereka tertarik untuk bergabung dengan jemaat. Dengan demikian liturgi bagaikan cermin yang menerima sinar-sinar injil dan yang memantulkannya kepada jemaat dan kepada dunia. Bukan saja injil (sebagai hal yang terpenting) yang dipantulkan, tapi juga ajaran gereja (dogma) dan seringkali juga sejarah gereja dan dnegan cara bagaimana jemaat menghayati serta mengamalkan kepercayaannya. Semua itu dicerminkan dalam bentuk rupa suasana dan warna kebaktian.
Dewasa ini kebutuhan untuk membaharui liturgi gereja semakin mendesak, tetapi sebagian gereja tidak responsif terhadap kebutuhan tersebut. Mulai dari isi dan cara penyampaian khotbah, lliturgi yang kaku dan monoton. Akibatnya, liturgy gereja menjadi tidak komunikatif kepada warganya. Padahal liturgy merupakan komunikasi dengan Allah dan itu berarti harus pula komunikatif dalam persekutuan. Karena cenderung mengabaikan kebutuhan warganya dan mempertahankan yang diwarisi dari zending, banyak gereja yang ditinggalkan oleh jemaatnya, sebagian lari ke persekutuan-persekutuan doa (istilah “jajan”) dan sebagian lagi memilih menjadi anggota gereja yang pasif, yang hanya datang ke kebaktian pada hari-hari raya gereja, misalnya Natal dan Paskah. Oleh karena itu, dalam paper ini, penulis tertarik membahas perkembangan liturgi HKBP (dalam hal ini tata ibadah), sejauh mana HKBP mampu melakukan transformasi di dalam gereja khusus liturgi minggu, sehingga pelayanan HKBP kepada jemaat lebih optimal.
.
II. Gambaran HKBP Secara Umum yang Berkaitan dengan Faktor-Faktor Pembentukan Liturgi
.
Sebagaimana ada kemajuan dalam sejarah keselamatan, begitu juga ada kemajuan liturgi dalam ibadah jemaat. Liturgi berkembang dalam sejarah keselamatan dan menyesuaikan diri kepada corak setiap zaman. Liturgi tidak bersifat kaku atau keras, dan bentuknya tidak tetap sama sepanjang zaman. Secara dinamis liturgi mengikuti perkembangan sejarah keselamatan. Demikian juga halnya dengan HKBP. Liturgi HKBP juga mengalami perubahan mulai dari masa zending sampai masa sekarang.
Liturgi dibangun berdasarkan pada beberapa faktor , antara lain :
.
1. Faktor Alkitab
Alkitab berfungsi sebagai dasar dalam teologi Reformasi ( sola fide, sola gratia, sola scriptura) Dalam hal ini HKBP memiliki ajaran gereja yang berazaskan Alkitab . Setiap orang Kristen tunduk kepada Firman Allah, karena Firman itu bukan Firman manusia, melainkan Firman Allah yang satu-satunya. Maka dengan demikian Alkitab bagi HKBP mempunyai wibawa mutlak (absolute) dalam kehidupan bergereja.
.
2. Faktor Ajaran Gereja (dogma)
Faktor dogma dapat mempengaruhi penetapan liturgi. Hal ini dapat dilihat dalam gereja HKBP. HKBP merupakan gereja reformasi, dimana dalam penetapan lliturginya gereja reformasi menekankan pentingnya pelayanan Firman (sola Scriptura), sehingga khotbah mendapat tempat yang sentral dalam kebaktian. Bagi gereja reformasi faktor dogma erat berkaitan dengan faktor Alkitab. Gereja Reformasi mengakui sebgai dalil utama, bahwa dasar ajarannya adalah Firman Tuhan. Sejajar dengan itu dapat dillihat bahwa wewenang factor ini sama pentingnya dengan factor Alkitab.
.
3. Faktor Persekutuan Gereja
Wewenang faktor persekutuan tergantung pada peraturan gereja. Apabila persidangan raya menentukan suatu tata ibadah, dengan maksud supaya semua gereja memakai tata ibadah, maka peraturan itu bersifat perintah mutlak. HKBP merupakan gereja yang memilliki system sinodal episkopal dan presbiterial. Dari Sinode telah ditentukan suatu tata ibadah yang akan diikuti oleh seluruh gereja HKBP yang ada di Indonesia bahkan di dunia.
.
4. Faktor Sejarah Gereja
Gereja yang hidup pada masa sekarang bertanggung jawab untuk mengkaji perlindungan dan pemeliharaan dan untuk belajar dari sejarah gereja. Ajaran sejarah ini merupakan (juga di bidang liturgi) nasihat yang penting sekali untuk gereja sekarang. Namun faktor sejarah tidak mempunyai wibawa yang mutlak, melainkan (tergantung dari hasil penyelidikan sejarah) dapat membawa pengaruh yang bersifat ajaran yang penting atau nasihat yang kuat. Berdirinya HKBP merupakan hasil pekabaran Injil yang dibawa oleh badan zending RMG. HKBP resmi berdiri pada tanggal 7 Oktober 1861 , tanggal berundingnya antara pekabar-pekabar Injil Belanda dan pekabar-pekabar Injil Jerman (Heine, Klammer, Beltz dan Van Asselt). Tetapi pekabaran Injil di Tapanuli benar-benar berkembang berkat semangat Nomensen yaitu misionaris yang berasal dari Jerman yang mendapat pendidikan di bawah RMG. Sehingga pada masa itu corak teologi yang dibawa oleh Nomensen sangat berpengaruh terhadap pembentukan corak teologi HKBP bahkan sampai sekarang.
.
5. Faktor Misioner
Setiap jemaat seharusnya adalah jemaat missioner. Artinya berminat untuk mengabarkan Injil. Dengan kata lain setiap jemaat berusaha untuk menarik orang-orang yang belum mengenal Kristus supaya masuk gereja. Jemaat mendorong mereka untuk menggabungkan diri dengan jemaat yang berkumpul pada hari minggu. Pada dasarnya jemaat HKBP juga diharapkan menjadi jemaat yang missioner. Hal ini dapat dilihat dari sikap yang diwariskan oleh para misionaris pada masa zending. Tetapi sikap missioner ini secara nyata kurang terlihat di tengah-tengah jemaat HKBP. Padahal faktor missioner untuk menciptakan liturgi adalah fakor yang penting sekali, yang merupakan dorongan, terutama untuk membuat kebaktian itu hidup dan sesuai dengan pengertian dan penghayatan setiap hari.
.
6. Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan juga merupkan faktor yang penting dalam pembentukan liturgi. Faktor ini berkaitan dengan faktor missioner. Gereja HKBP sangat erat hubungannya dengan kebudayaan karena HKBP adalah gereja suku. Jemaat HKBP pada umumnya adalah suku Batak Toba. Suku Batak Toba sangat kaku dengan adat karena bagi mereka adapt berfungsi untuk mengatur hidup kekeluargaan, hidup bermasyarakat dan hidup berpemerintahan, dimana setiap orang/keluarga diminta supaya saling menghormati, saling menghargai, salling membantu dan saling mengasihi. Hal ini tampak jelas dalam umpama yang mengatakan “Sisolisoli uhum, siadapari gogo”. Artinya, yang memberi adat, dialah yang menerima adapt, yang mau menolong temannya, dialah yang menerima pertolongan . Contohnya Dalihan Na Tolu (DNT). DNT adalah pranata adat yang diciptakan dan merupakan warisan peninggalan nenek moyang (leluhur) orang Batak sejak ratusan tahun yang lalu. DNT sudah merupakan deep culture bagi orang Batak sehingga sekalipun budaya Batak bersentuhan dengan budaya baru/perubahan-perubahan yang baru, DNT akan berusaha tetap eksis bersama-sama dengan budaya baru itu. DNT terdiri dari 3 pilar, yaitu :
.
• Manat Mardongan Tubu
Hubungan sesama satu marga (sabutuha) harus hati-hati, dalam arti berbuat dan berbicara mesti saling menghormati, menghargai, dan menghindari sikap arogan.
.
• Somba Marhula-hula (hormat kepada hula-hula)
Hula-hula harus dihormati agar memperoleh keberuntungan dan senantiasa selamat sentosa
.
• Elek Marboru
Selalu bersifat membujuk,/mengayomi kepada pihak boru/perempuan
.
Orang Batak juga sangat berjuang untuk memperoleh kesuksesan yang diwujudkan dalam 3H, yaitu hagabeon (banyak keturunan), Hamoraon (banyak harta) dan hasangapon (terhormat). 3H ini merupakan falsafah hidup orang Batak. `Kekakuan orang Batak terhadap adat yang dipegangnya sangat berpengaruh terhadap perkembangan gereja HKBP khususnya dalam hal liturgi.
.
7. Faktor Etnologis dan Antropologis
Faktor ini sebenarnya tidak begitu berbeda sifatnya dari faktor kebudayaan. Hanya, ingin menekankan bahwa dalam pembentukan liturgi harus sadar akan kenyataan, setiap bangsa berbeda-beda sifatnya. Misalnya emosi (dan cara untuk mengungkapkan emosinya dalam gerak-gerik, musik, cara berbicara); cara berpikir (sifat timur lain dari sifat barat); pandangan dunia (pandangan dunia adapt masih akan lama sekali mempengaruhi pengertian manusia akan penggunaan berbagai unsur kebaktian), dan lain sebagainya. Bila hendak menciptakan liturgi, mau tidak mau harus berhadapan dengan faktor ini.
.
8. Faktor Dunia Gereja
Maksudnya adalah pengaruh dunia di sekitar gereja yang dapat mempengaruhi liturgy. Misalnya:
• keadaan ekonomi. Bila keadaan ekonomi tidak baik dan masyarakat pada umumnya miskin, maka akibatnya untuk gereja jelas : bangunan gereja memprihatinkan, alat-alat musik tidak ada atau sederhana saja
• keadaan iklim. Keadaan hawa jjuga mempengaruhi sifat gedung gereja
• keadaan polotik. Bila gereja dianiaya, maka akibatnya untuk ibadah jelas, yaitu berkumpul secara rahasia di tempat-tempat tersembunyi. Tapi sebaliknya, pemerintah memberika subsidi untuk membangun gereja.
.
HKBP memilliki jemaat yang beraneka ragam dari segi ekonomi. Mulai dari tingkat perekonomian yang rendah sampai tingkat ekonomi tinggi. Keadaan politik sangat berpengaruh terhadap perkembangan gereja HKBP. Hal ini dapat dilihat dari masalah HKBP beberapa tahun yang lalu yang dipicu oleh campur tangan pemerintah terhadap gereja HKBP.
.
Dari ke-8 faktor-faktor tersebut dapat dilihat bagaimana kondisi HKBP secara umum yang berkaitan dengan pembentukan dan perkembangan tata ibadah/lliturgi HKBP sampai sekarang.
.
Bentuk Liturgi/Tata Ibadah Awal Masa Zending
.
Bentuk liturgi yang dibawa oleh para misionaris ke tanah Batak merupakan cikal bakal bentuk liturgi HKBP setelah HKBP mandiri sampai sekarang. Bentuk liturgi yang dibawa ke tanah Batak adalah lebih dominan menyerap bentuk liturgi Lutheran. Penampilan peraturan gereja dan Tata Ibadah dapat melukiskan betapa di tingkat jemaat para zendeling menjalin tradisi Eropa Kristen dengan tradisi kebudayaan Batak. Tata Ibadah karangan Nomensen menampilkan pola kesalehan : Ibadat dimulai pukul 9 pagi, setelah lonceng dibunyikan sampai 3 kali. Pada mulanya diadakan nyanyian disusun oleh Liturgi yaitu : Perintah-perintah, Pengakuan Iman dan Doa. Kemudian nyanyian lagi, Khotbah dan Doa, selanjutnya kembali nyanyian, pemberkatan, lalu 9 kali haleluya dan 6 kali Amin dinyanyikan. Setelah diadakan doa diam, jemaat bubar
.
Liturgi/Tata Ibadah HKBP Masa Sekarang dan Makna Teologisnya
.
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa tata ibadah HKBP cikal bakalnya berasal dari tata ibadah yang dibawa oleh para misionaris pada masa zending, maka tata ibadah HKBP pada masa sekarang ini adalah sebagai berikut :
.
a. Tata Ibadah
.
1. Bernyanyi
2. Votum
3. Bernyanyi
4. Hukum Taurat
5. Bernyanyi
6. Pengakuan Dosa
7. Bernyanyi
8. Epistel
9. Bernyanyi
10. Pengakuan Iman Rasuli
11. Warta Jemaat
12. Doa Syafaat
13. Bernyanyi (Persembahan)
14. Khotbah
15. Bernyanyi (Persembahan)
16. Doa Persembahan + Nyanyian
17. Doa Bapa Kami dan Berkat
? Koor disisipkan di antara susunan ibadah, tiap-tiap gereja berbeda penempatan koornya, tergantung kebijaksanaan gereja setempat.
.
b. Makna Teologis
.
1. Pujian
Sebagai tanda kesiapan jemaat untuk memulai ibadah
.
2. Votum
Pernyataan, proklamasi bahwa ibadah yang dilakukan adalah ibadah yang dilakukan dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus. Allah-lah yang telah mengumpulkan jemaat dalam ibadah. Haleluya yang dinyanyikan oleh jemaat merupakan respon jemaat dengan spontan untuk menyatakan terima kasih/syukur serta memuji Tuhan yang telah berkenan dengan kemurahan-Nya untuk mengumpulkan jemaat dalam persekutuan. Doa dalam votum: Doa yang dipimpin oleh pembaca votum untuk seluruh rangkaian ibadah dan mengarah ke thema Minggu
.
3. Pujian
Jemaat diingatkan akan berkat Tuhan yang selalu nyata dalam hidup serta memuji kemurahanNya
.
4. Hukum Taurat
Sebagai cermin bagi jemaat, apa yang diinginkan Tuhan dari setiap kehidupan anak-anakNya. Jemaat dapat melihat hal-hal yang diinginkan oleh Tuhan untuk evaluasi hidupnya. Kemudian dilanjutkan dengan pengakuan dosa.
.
5. Pengakuan Dosa
Setelah jemaat bercermin kepada Hukum Tuhan, maka jemaat menyadari dosa-dosanya. Jemaat sadar bahwa jemaat hanya dapat beribadah itu atas dasar penyesalan/pengakuan segala dosa-dosanya dan jemaat yakin bahwa dosa-dosa itu akan diampuni melalui penebusan Tuhan Yesus Kristus. Setelah jemaat mengakui dosa-dosanya maka ada Janji Tuhan bahwa Tuhan tidak akan melakukan kepada jemaat setimpal dengan dosa jemaat dan tidak dibalasNya kepada jemaat setimpal dengan kesalahan jemaat. Dia mengasihi anak-anakNya.
.
6. Nyanyian
Nyanyian ini merupakan respon jemaat terhadap pengampunan dosa yang telah diberikan Tuhan kepada jemaat, pernyataan syukur serta kekaguman kepada Allah yang telah mengampuni setiap dosa anak-anakNya, kekaguman terhadap Allah yang begitu baik dalam kehidupan setiap jemaatNya.
.
7. Epistel
Epistel merupakan pengantar Firman Tuhan yang dikemas dalam Khotbah. Epsitel dan Evanggelium (Firman untuk Kotbah) merupakan satu kesatuan yang utuh karena Firman Tuhan dalam Alkitab yang dibacakan dalam epistel mendukung Firman Tuhan yang dibacakan dalam khotbah. Epistel adalah pembacaan Firman Tuhan yang melibatkan jemaat.
.
8. Nyanyian
Merupakan respon jemaat terhadap Firman Tuhan yang dibaca
.
9. Pengakuan Iman Percaya
Kesaksian Iman Kristen yang harus dinyatakan dengan berani, yakin, tegas dan sungguh-sungguh ( tidak dengan ragu-ragu dan tidak ikut-ikutan) oleh sebab itu dilakukan berdiri. Pengakuan Iman merupakan pertanggungjawaban iman kepada Tuhan dan dunia sehingga harus benar-benar keluar dari hati yang ikhlas. Setelah jemaat menerima pengampunan dosa dari Tuhan, mendengarkan janjiNya dan membaca Firman Tuhan, jemaat menyatakan kesaksian imannya dengan rasa tulus hati tanpa paksaan
.
10. Warta Jemaat
Warta sudah disediakan bagi jemaat secara tertulis, tetapi masih ada gereja HKBP yang tidak membuat warta secara tertulus, warta hanya dibacakan secara lisan. Warta yang dibacakan dari depan adalah benar-benar harus diseleksi sehingga pembacaan warta tidak perlu membutuhkan waktu yang cukup lama. Pembacaan warta diletakkan sewaktu ibadah karena warta juga merupakan bagian yang penting dalam ibadah. Warta merupakan pemberitahuan kepada jemaat tentang perkembangan pelayanan, rencana-rencana kegiatan yang akan diadakan di gereja maupun dalam masyarakat, berita dari pusat sampai kepada kehidupan berjemaat. Pembacaan warta ini mengajak supaya semua jemaat peduli terhadap pelayanan/gereja bahkan terhadap sesama.
.
11. Doa Syafaat
Jemaat berdoa syafaat menyerahkan semua kegiatan pelayanan bahkan seluruh kehidupan jemaat kepada Tuhan. Oleh karena itu doa syafaat ditempatkan setelah warta jemaat. Apa yang sudah dibacakan di warta jemaat hendaknya dibawakan di dalan doa syafaat (misalnya: program-program pelayanan dalam gereja, orang-orang yang berulang tahun, dll) ditambah dengan hal-hal yang berkembang yang menurut pendoa syafaat perlu didoakan
.
12. Nyanyian Pujian :
Merupakan ungkapan hati jemaat bahwa jemaat siap untuk mendengarkan Firman Tuhan
.
13. Khotbah
Pemberitaan Firman Tuhan. Mewartakan kerajaan Allah bagi jemaat oleh si pengkotbah
.
14. Persembahan yang diikuti dengan nyanyian pujian
Persembahan merupakan tanda pengucapan syukur atas segala berkat Tuhan terutama atas perdamaian dengan Tuhan melalui pengorbanan Kristus, oleh sebab itu pengumpulan persembahan diikuti oleh nyanyian pujian ( pernyataan syukur dinyatakan dalam bentuk pemberian (kolekte) dan perkataan (nyanyian)). Persembahan penting untuk pembangunan persekutuan gereja dan jemaat serta membiayai misi gereja untuk menyatakan kesaksian dan pelayanan.
Persembahan ini juga merupakan respon jemaat yang dinyatakan melalui pemberian kolekte dan nyanyian pujian pada ibadah yang telah berlangsung atas undanganNya.
.
15. Doa Penutup ( Doa Persembahan + Doa Bapa Kami + Berkat)
Mendoakan persembahan yang telah terkumpul sekaligus doa untuk mmpersembahkan keseluruhan hidup jemaat (dinyatakan melalui nyanyian) kemudian Doa Bapa Kami yaitu doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus kepada Jemaat melalui firman-Nya. Dan diakhir ibadah ditutup dengan berkat ( suatu jaminan bahwa Tuhan yang melindungi umat milik-Nya). Dengan penuh pengharapan dan penuh keyakinan jemaat atas jaminan Tuhan, jemaat menyambut dengan menyanyi : Amin, Amin, Amin. Artinya, jemaat memuji Tuhan dan mengamini seluruh ibadah yang dinaikkan kepada Tuhan dan juga jaminan Tuhan atas hidup jemaat-Nya. (sungguh, pasti = amin)
.
III. Refleksi
.
1. Evaluasi
.
Liturgi HKBP sampai sekarang masih mempertahankan liturgi warisan dari zending. Ada kesan, dengan mempertahankan bentuk liturgy seperti itu jemaatnya sudah bosan. Di beberapa gereja HKBP, liturginya dari masa ke masa begitu-begitu saja, tidak berkembang. Doa-doanya bisa dihapal. Malah kalau jemaat rajin ke gereja semua aspek liturgi sudah dihafal. Misalnya pengakuan dosa, sudah di atur dari depan, padahal setiap jemaat mempunyai dosa-dosa yang berbeda. Di samping itu banyak jemaat juga yang menyatakan bahwa liturgi HKBP tidak menarik, ibadah di gereja HKBP tidak ada Roh Kudusnya. Mereka mengatakan ibadah di HKBP suam-suam kuku, khotbah-khotbahnya terlalu panjang, cara menyanyi tidak bergairah, kaku membosankan, dan lain sebagainya. Dan sering sekali jemaat memuji gereja-gereja aliran lain dengan menyatakan liturginya mantap sekalli, menghidupkan dan menggembirakan. Tidak dapat disangkal, ocehan-ocehan seperti itu pasti keluar dari jemaat. Kondisiseperti ini sangat menyedihkan.
.
Ibadah menempati tempat yang sentral dalam gereja HKBP, namun anggota-anggota jemaat umumnya tidak banyak mengetahui tentang ibadah. Mereka tidak tahu makna unsur-unsur liturgi. Makna simbol-simbol yang ada dalam gereja juga tidak dimengerti oleh jemaat. Mereka tiap minggu menghadiri kebaktian, tapi banyak dari mereka tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi di situ. Sehingga jemaat terjebak dengan kegiatan-kegiatan rutin. Kondisi seperti ini sangat merugikan.
.
Liturgi HKBP adalah liturgi yang beraliran Lutheran, yang menekankan kepada pelayanan Firman dan pelayanan Firman itu paling banyak di khotbah. Dalam penyusunan liturginya, jemaat tidak dilibatkan karena sudah ada bentuk liturgi yang ditawarkan dari pusat. Sehingga tidak sedikit gereja HKBP yang mengadopsi secara bulat-bulat dari pusat tanpa melakukan pembaharuan, oleh sebab itu suasana setiap minggunya tidak berubah. Bagi gereja-gereja HKBP yang tidak mengadopsi dari kantor pusat, yang menyusun liturgi hanya dipercayakan kepada pendeta/penatua (pendeta/penatua sentris). Majelis tidak melibatkan potensi-potensi yang ada di tengah-tengah jemaat.
Dalam pelaksanaan ibadah, persekutuan secara horizontal (sesama) kurang dirasakan. Allah yang digambarkan dalam ibadah adalah Allah yang agung, Allah yang kudus, Allah yang mulia, Allah sebagai hakim, Allah yang sulit untuk dijangkau, hal ini dapat dilihat dari penataan ruangan gereja (mimbar yang tinggi, altar yang disakralkan, tempat duduk para pelayan terpisah dari jemaat, kotbah harus mimbar, dan lain sebagainya).
.
Secara umum terdapat dua kelompok dalam gereja, yaitu kelompok yang ingin mengubah ibadah (progresif) dan kelompok yang setia mempertahankan tata ibadah (konservatif). Kedua pihak fanatik membela posisi masing-masing. Kelompok progresif berpendapat bahwa tata ibadah harus diubah untuk menghidupkan dan menguatkan iman. Tapi kelompok konservatif justru kuatir, bahwa oleh segala macam pembaharuan maka kehidupan dan kekuatan iman akan rusak. Masing-masing dari kedua kelompok ini mengharapkan suatu dampak emosional dari liturgi yang diciptakan atau yang mereka pertahankan. Pada umumnya kelompok yang bersifat progresif adalah dari golongan muda/mudi dan kelompok yang mendukung konservatif kebanyakan orang tua.
.
Relevansi
.
Zaman postmodernisasi sekarang sangat berdampak terhadap seluruh segi kehidupan manusia, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan rohani. Persoalan yang dihadapi oleh gereja sekarang adalah manusia yang berubah. Meskipun orang masih membayangkan Allah, tetapi Allah yang seperti apa? Bagaimana supaya dalam ibadah, unsur-unsur yang ada sesuai dengan selera jemaat. Liturgi harus disesuaikan dengan orangnya. HKBP tidak dapat membendung perubahan zaman sekarang melainkan HKBP harus mampu untuk menempatkan diri dan tetap eksis. Liturgi HKBP sebaiknya harus bersifat inklusif (terbuka), merangkul semua golongan dalam gereja (perempuan, laki-laki, tua, muda, kaya, miskin, petani, dokter, buruh, kuli bangunan, dan seterusnya) serta terbuka pada unsur-unsur yang baik dari budaya etnis serta ibadah dari gereja lain, tidak memaksakan satu jenis ibadah. Ibadah harus mampu melibatkan atau merangkul semua orang. Secara intern dalam persekutuan itu sendiri dan secara ekstern kepada orang lain, bagaimana orang lain bisa tertarik, tertarik pada sesuatu yang kita buat dalam persekutuan itu.
.
HKBP harus mampu untuk berada di tengah antara konteks ekstrim kaku (konserfatif) dengan semangat yang muncul sekarang (progresif) dan bagaimana gereja menangani serta menciptakan liturgi sehingga semuanya terlayani. Bentuk yang lama masih baik untuk banyak orang dan yang baru juga harus diciptakan tanpa menghilangkan makna teologis dari bentuk yang lama, supaya liturgi yang diciptakan tidak hanya berupa hiburan belaka. Oleh sebab itu adalah tugas pelayan untuk menjelaskan unsur-unsur liturgi, agar jemaat mengerti apa dan bagaimana ia beribadah. Karena kalau jemaat mengerti semua aspek yang ada dalam liturgi, rasa kaku dan membosankan akan terobati. Tawaran liturgi untuk memenuhi permintaan jemaat dapat dikemas dengan menawarkan model-model liturgi dalam ibadah minggu setiap minggunya. Misalnya, pada waktu gereja pagi, bentuk liturginya dikemas dalam bentuk ekspresif (jemaat dengan bebas berekspresi dalam ibadah) dengan menggunakan lagu-lagu yang bercorak pop dan sewaktu gereja siang bentuk ibadahnya dikemas dalam bentuk impresif/klasik dengan menggunakan bahasa Batak. Disesuaikan berdasarkan kebutuhan jemaat.
.
Persekutuan di dalam Tuhan adalah persekutuan yang indah, persekutuan yang dibutuhan jemaat sekarang. Jemaat akan mengunjungi gereja yang dirasanya memiliki persekutuan yang hangat. Jemaat akan merasa nyaman dan merasa betah bergereja di satu gereja jikalau jemaat tersebut disambut dengan hangat. HKBP juga sebaiknya dalam ibadah menyeimbangkan persekutuan secara vertical ( persekutuan pribadi dengan Tuhan) dengan persekutuan yang horizontal (persekutuan dengan sesama). Kemasan liturgi dan pelayan-pelayan liturgi harus mengajak jemaat untuk merasakan persekutuan yang indah di antara jemaat, antara jemaat dan majelis gereja, karena gereja adalah merupakan satu kesatuan yang utuh di dalam tubuh Kristus. Ketika kita hidup di dalam Kristus maka kita juga akan mampu membangun persekutuan dengan sesama yang akan berdampak kepada orang-orang yang berada di luar gereja. Gereja adalah tubuh Kristus yang menjadi nyata melalui sikap hidup anggotaNya yang telah diperbaharui.
.
Liturgi yang dikemas sebaiknya juga menyeimbangkan gambaran Allah sebagai kepala keluarga, Allah yang penuh kasih , Allah yang bersahabat, Allah yang dekat kepada anak-anakNya, dengan Allah yang adil, Allah yang Mulia, Allah yang Kudus. Sehingga jemaat dapat merasakan bahwa Allah itu kasih sekaligus adil, Allah itu Agung, mulia, kudus tetapi Allah itu juga Allah yang dekat kepada setiap orang yang mau datang kepada Dia. Semua ini dapat digambarkan mulai dari penataan ruang ibadah sampai kepada bemntuk liturginya. Bagaimanapun proses berjalannya ibadah sangat dipengaruhi oleh suasana/lingkungan kita beribadah. Penataan ruangan membantu jemaat untuk memahami dan menikmati ibadah yang dia ikuti.
.
Liturgi yang diwarisi dari zending sebaiknya dikaji ulang kembali, sehingga liturgi yang ada sekarang adalah liturgi yang kontekstual, yaitu liturgi yang diciptakan berdasarkan kebutuhan jemaat, tentunya liturgi yang tercipta adalah liturgi yang tidak kehilangan makna teologisnya. Jemaat juga sebaiknya dilibatkan dalam pembuatan liturgi karena merea juga bagian dari gereja. Sebagai satu kesatuan tubuh Kristus, gereja harus saling melengkapi. Potensi yang ada di dalam jemaat sebaiknya diberdayakan, jemaat diajak untuk berpikir secara kritis, sehingga jemaat dapat benar-benar merasakan bahwa mereka adalah bagian dari tubuh Kristus dan bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan gereja bahkan mereka juga turut berpartisipasi untuk mewujudkan dampak gereja kepada dunia.
.
Kesimpulan
.
Liturgi adalah kreasi teologis yang sekaligus teoritis dan praktis. Yang pertama tidak dapat berjalan tanpa yang kedua. Jika liturgy hanya berupa teori, maka ia tinggal sebagai dogma. Padahal liturgy juga merupakan praktis gereja. Secara garis besar liturgi HKBP merupakan liturgi yang masih mempertahankan warisan dari zending. Sesuai dengan perkembangan zaman, HKBP juga harus mampu untuk melakukan transformasi sehingga HKBP dapat menjawab kebutuhan jemaatnya, tidak terkecuali di bidang liturgi. Untuk melakukan transformasi ini tidak hanya tugas pendeta atau penatua, tetapi jemaat juga harus berpastisipasi.
.
Untuk mewujudkan peribadahan yang benar kepada Allah, diri pribadi harus berubah. Introspeksi dan perubahan merupakan bagian dari kondisi yang patut dikerjakan dalam rangka melaksanakan peribadatan yang benar. Tugas untuk mewujudkan kebaktian yang sesuai dengan syarat-syarat alkitabiah merupakan proses yang sukar sekali. Tapi walaupun sukar, justru sangat penting demi terciptanya suasana kehidupan yang sehat. Tapi dengan syarat : atas pertolongan Roh Kudus.
.
Saran
.
Sebagai gereja yang dinamis, sebaiknya HKBP terus melakukan transformasi, peka terhadap kebutuhan jemaatnya. Salah satu wujud nyata transformasi yang dilakukan harus kelihatan dalam liturgi yang dipergunakan oleh tiap-tiap gereja. Tiap-tiap gereja sebaiknya tidak mengadopsi sepenuhnya liturgi yang ditawarkan oleh pusat melainkan tiap-tiap gereja harus mampu menciptakan liturginya sendiri berdasarkan kebutuhan lokal dengan memberdayakan potensi-potensi yang ada dalam jemaat. Liturgi yang ditawarkan oleh pusat biarlah itu menjadi sebuah gambaran/pedoman untuk menciptakan liturgy yang baru, sehingga liturgy yang tercipta adalah liturgi yang makna teologisnya tidak hilang dan tetap sesuai dengan dogma HKBP.
.
Sumber :
Ance M. D. Sitohang
www.forumteologi.com

Jambar

JAMBAR adalah istilah yang sangat khas Batak. Kata jambar menunjuk kepada hak atau bagian yang ditentukan bagi seseorang (sekelompok orang). Kultur Batak menyebutkan ada 3(tiga) jenis jambar. Yaitu: hak untuk mendapat bagian atas hewan sembelihan (jambar juhut), hak untuk berbicara (jambar hata) dan hak untuk mendapat peran atau tugas dalam pekerjaan publik atau komunitas (jambar ulaon).
.
Tiap-tiap orang Batak atau kelompok dalam masyarakat Batak (hula-hula, dongan sabutuha, boru, dongan sahuta dll) sangat menghayati dirinya sebagai parjambar. Yaitu: orang yang memiliki sedikit-dikitnya 3(tiga) hak: bicara, hak mendapat bagian atas hewan yang disembelih dalam acara komunitas, dan hak berperan dalam pekerjaan publik atau pesta komunitas. Begitu pentingnya penghayatan akan jambar itu, sehingga bila ada orang Batak yang tidak mendapatkan atau merasa disepelekan soal jambarnya maka dia bisa marah besar.
.
1. JAMBAR HATA
.
Pertama-tama tiap-tiap orang dalam komunitas Batak (kecuali anak-anak dan orang lanjut usia yang sudah pensiun dari adat/ naung manjalo sulang-sulang hariapan) diakui memiliki hak bicara (jambar hata). Sebab itu dalam tiap even pertemuan komunitas Batak tiap-tiap orang dan tiap-tiap kelompok/ horong harus diberikan kesempatan bicara (mandok hata) di depan publik. Jika karena alokasi waktu jambar hata harus direpresentasikan melalui kelompok/ horong (hula-hula, dongan tubu, boru dll) maka orang yang ditunjuk itu pun harus berbicara atas nama kelompok/ horong
yang diwakilinya. Sebagai simbol dia harus memanggil anggota kelompoknya berdiri bersama-sama dengannya. Sekilas mungkin orang luar mengatakan bahwa acara mandok hata ini sangat bertele-tele dan tidak efisien.
.
Namun pada hakikatnya jambar hata ini menunjuk kepada pengakuan bahwa tiap-tiap orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapatnya (baca: hak untuk didengarkan) di depan publik. Bukankah hal-hal ini sangat demokratis dan moderen?
.
2. JAMBAR JUHUT
.
Selanjutnya jambar juhut menunjuk kepada pengakuan akan hak tiap-tiap orang untuk mendapat bagian dari hewan sembelihan dalam pesta. Lebih jauh. jambar juhut ini merupakan simbol bahwa tiap-tiap orang berhak mendapat bagian dari sumber-sumber daya (resources) kehidupan atau berkat yang diberikan Tuhan. Sebab itu bukan potongan daging (atau tulang) itu yang terpenting tetapi pengakuan akan keberadaan dan hak tiap-tiap orang. Sebab itu kita lihat dalam even pertemuan Batak bukan hanya hasil pembagian hewan itu yang penting tetapi terutama proses membagi-baginya. (acara mambagi jambar). Sebab proses pembagian jambar itu pun harus dilakukan secara terbuka (transparan) dan melalui perundingan dan kesepakatan dari semua pihak yang hadir, dan tidak boleh langsung di-fait accompli oleh tuan rumah atau seseorang tokoh. Jolo sineat hata asa sineat raut. Setiap kali potongan daging atau juhut diserahkan kepada yang berhak maka protokol (parhata) harus mempublikasikan (manggorahon) di depan publik. Selanjutnya setiap kali seseorang menerima jambar maka ia harus kembali mempublikasikannya lagi kepada masing-masing anggotanya bahwa jambar (hak) sudah mereka terima.
.
Jambar juhut ini menunjuk kepada gaya hidup berbagi (sharing) yang sangat relevan dengan kehidupan modernitas (demokrasi) dan kekristenan. Sumber daya kehidupan atau berkat Tuhan tidak boleh dinikmati sendirian tetapi harus dibagi-bagikan secara adil dalam suatu proses dialog yang sangat transparan.
.
Inilah salah kontribusi komunitas Batak kepada masyarakat dan negara Indonesia. Bahwa hasil pembangunan dan devisa Indonesia seyogianya harus bisa juga dibayangkan sebagai ternak sembelihan yang semestinya dibagi-bagi kepada seluruh rakyat secara adil dan transparan.
.
3. JAMBAR ULAON
.
Jambar ulaon menunjuk kepada pengakuan kultur Batak bahwa tiap-tiap orang harus diikutsertakan dan dilibatkan dalam pekerjaan publik. Dalam even pertemuan komunitas Batak tidak ada penonton pasif, sebab semua orang adalah peserta aktif. Tiap-tiap orang adalah partisipan (parsidohot) dan pejabat (partohonan). Dari kedalaman jiwanya orang Batak sangat rindu diikutsertakan dan dilibatkan dalam pekerjaan publik atau komunitas.
.
Pada dasarnya orang Batak rindu memiliki peran dan kedudukan dalam komunitas dan masyarakatnya (termasuk gerejanya). Jika ia tidak memiliki peran dan kedudukan itu, maka kemungkinan yang terjadi cuma dua: si orang Batak ini akan pergi menjauh atau “menimbulkan keonaran”. Sebaliknya jika dia disertakan atau dilibatkan, sebagai parsidohot dan parjambar dan partohonan maka dia akan berusaha memikul dan menanggung pekerjaan itu sebaik-baiknya dan dengan sekuat tenaganya (termasuk berkorban materi). Mengapa laki-laki Batak begitu rajin dan betah di pesta adat? Sebab di sana mereka memiliki peran dan kedudukan!
.
4. JAMBAR DAN NASIB
.
Namun komunitas Kristen-Batak sekarang tetap harus mewaspadai seandainya masih ada sisa-sisa kaitan jambar dengan pemahaman nasib (sibaran, bagian, turpuk). Kekristenan jelas-jelas menolak konsepsi tentang nasib (predestinasi), yaitu anggapan bahwa kehidupan, kinerja dan prestasi seseorang sudah ditentukan sebelumnya jauh sebelum dia lahir. Kematian Yesus di kayu salib dan kebangkitanNya kembali dari antara orang mati telah menghapuskan nasib ini. Yang lama telah berlalu sebab yang baru telah tiba (II Kor 5:17). Bagi orang percaya tidak ada yang mustahil sebab itu tidak ada juga nasib ( Luk 1:37, Kej 18:1 ). Tuhan tidak pernah merencanakan kecelakaan tetapi masa depan yang penuh pengharapan bagi kita (Yer 29:30). Sebab itu bagi kita komunitas Kristen-Batak jambar tidak boleh diartikan sebagai nasib. Itu artinya pemahaman tentang jambar harus didasarkan kepada Firman Tuhan.
.
Bagi kita komunitas Kristen-Batak jambar memiliki makna baru: yaitu simbol hidup berbagi yang diteladankan oleh Yesus. Yaitu sebagaimana Yesus telah rela mati di kayu salib memecah-mecah tubuhNya dan mencurahkan darahNya untuk kehidupan dan kebaikan semua orang, maka kita juga harus selalu membagi-bagi sumber daya kehidupan atau berkat yang kita terima kepada sesama.
.
Dalam kehidupan sehari-hari kita mau menyatakan bahwa sumber-sumber daya ekonomi, sosial dan politik serta budaya yang ada di masyarakat dan negara harus dibagi-bagi dan didistribusikan secara adil dan merata, dengan semangat solidaritas (kesetiakawanan).
.
5. PERSATUAN DAN KEADILAN
.
Budaya Jambar adalah simbol PERSATUAN dan KEADILAN sekaligus. Dengan memberikan kepada tiap-tiap orang dan kelompok apa yang menjadi hak-haknya (hak bicara, hak mendapat bagian dalam sumber daya, dan hak berperan) keadilan diwujudkan dan persatuan diteguhkan pada saat yang sama. Persatuan tanpa keadilan adalah penindasan. Keadilan tanpa persatuan adalah permusuhan. Sebab itu: Persatuan Indonesia pun harus dimengerti dan dihayati dalam rangka Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
.
6. TEOLOGI JAMBAR DALAM GEREJA
.
Sebagai gereja yang anggotanya sebagian besar atau hampir semua berlatar-belakang Batak, HKBP mau tak mau harus menyadari kultur parjambaran ini. Bahwa pada dasarnya tiap-tiap anggota HKBP harus memiliki hak bicara (jambar hata), hak menikmati berkat (jambar juhut) dan hak berperan (jambar ulaon). Bagaimanakah kita mengakomodir kultur jambar ini ini dalam liturgi, persekutuan, pelayanan, organisasi dan seluruh ekspressi beribadah dan berjemaat HKBP kita?
.
Sebagai orang yang menghayati kultur Batak, seyogianya kita sadar bahwa warga (ruas) HKBP sangat merindukan dan mengharapkan diterima dan diakui sebagai parsidohot (perserta), parjambar, partohap (pemegang hak), parnampuna (pemilik) dan panean (pewaris) di gereja HKBP. Anggota HKBP dari kedalaman jiwanya tidak suka hanya sekedar jadi penonton atau pendengar pasif. Mereka ingin berperan dan terlibat dalam seluruh kehidupan ber-HKBP.
.
Banyak contoh menyebutkan jika anggota HKBP diberi peran maka dia akan melaksanakan peran itu sebaik-baiknya. Jika perannya dalam ibadah hanyalah bernyanyi tentu saja dia cuma membawa Buku Ende ke gereja. Sebaliknya jika perannya termasuk membaca Alkitab, maka dia tentu akan membawa Alkitab juga ke gereja. Selanjutnya jika anggota jemaat diberi peran untuk melayani maka dia akan membawa segala hal yang diperlukan untuk pelayanan itu dan akan bersukacita tinggal dan bertahan dalam HKBP. Pertanyaan: ingin anggota HKBP tidak lari ke tempat lain?
Jawaban: berilah dia peran dan kedudukan dan tanggungjawab di HKBP!
.
7. APA KATA ALKITAB?
.
Apa kata Alkitab tentang jambar? Yesus mendesak Petrus agar menerima Tuhan membasuh kakinya supaya dia mendapat bagian (partohap) dalam Kristus (Yoh 13:8). Selanjutnya Yesus memuji Maria karena telah memilih bagian atau jambar atau tohap na umuli (Luk 10:42). Rasul Paulus mengatakan karena kematian Yesus di kayu salib kita mendapat bagian atau parjambar dalam kerajaan Allah dan semua janjiNya. (Ef 2:12, lihat juga Ef 1:11). Kita orang percaya adalah partohap dalam kasih karunia Allah (Flp 1:7). Selanjutnya penulis Ibrani mengatakan “ai nunga gabe partohap di Kristus hita, anggo gomos tatiop ro di ujungna pos ni roha, na di hita mulana” (Heb 3:14). Bahkan kita juga telah menjadi parjambar atau partohap dalam Roh Kudus (Heb/ Ibr 6:4). Rasul Petrus juga menyatakan bahwa kita orang beriman juga mendapat bagian (partohap) dalam kemuliaan Kristus di masa mendatang (I Pet 5:1).
.
Karena itulah sang pemazmur mengatakan “parjambarongku do Ho, ale Jahowa, nunga pola hudok, sai radotanku do HataMi” (Maz/ Psalm 119:57, lih. 73:26). “Jahowa do parjambarangku, ninna tondingku, dibaheni marhaposan tu Ibana ma ahu” (Andung 3:24)
.
Sumber :
Pdt. Daniel TA Harahap, MA
http://rumametmet.com

Adat Batak Bertentangan dengan Injil?

Jakarta, Bahana
.
Benarkah adat Batak bertentangan dengan Injil? Untuk menjawab pertanyaan ini dan sejumlah pertanyaan lain, Yayasan Gema Kyriasa menggelar seminar bertajuk “Adat Batak dan Injil; Apakah Benar Adat Batak Bertentangan dengan Injil?” belum lama ini di Jakarta.
.
Pdt. Ir. Mangapul Sagala, M. Div tampil sebagai pembicara tunggal dalam seminar yang sebagian pesertanya adalah orang tua. Mangapul menjelaskan bahwa letak permasalahan adanya polemik semacam ini karena kurangnya pemahaman orang-orang yang terlibat dalam polemik itu baik atas Injil maupun atas adat Batak.
.
Ia memberi contoh soal ulos (selendang). Mereka yang kontra adat berpendapat bahwa di dalam ulos ada kuasa gelap sehingga dapat mengikat orang yang memakainya dan menyebabkan kehidupan orang tersebut tidak bertumbuh. Terhadap pendapat ini Mangapul dengan tegas menolak. “Saya menolak penilaian itu karena ibu saya penenun ulos di Tapanuli, dan saya tidak pernah mengamati adanya kuasa gelap dalam pembuatan atau penenunan ulos itu,” tegas pria berbadan gelap ini.
.
Lantas bagaimana menempatkan Injil di depan adat dan sebaliknya adat di hadapan Injil? Menurut Mangapul, sikap yang rasional dan elegan bukan menerima semua atau menolak semua adat. Tetapi bersikap selektif. Untuk itu lanjutnya, harus ada pemahaman yang baik dan mendalam terhadap injil.
.
(E. Dapa Loka)
Sumber : Majalah Bahana

Holy Land Tour

Tiga tahun terakhir, terlihat adanya peningkatan Travel yang bertujuan untuk membawa umat mengadakan kunjungan wisata rohani ke Yerusalem. Seruan untuk mengikuti Holy Land Tour (HLT) terlihat sedemikian gencar dilakukan, baik melalui media cetak maupun elektronik. Itulah sebabnya, radio, tabloid dan majalah Kristen dan juga harian ibu kota semakin sering mengiklan HLT tsb.
.
Berbagai pendekatan dilakukan oleh pemilik jasa perjalanan tsb untuk menarik minat peserta sebanyak-banyaknya. Antara lain, ada yang dengan berani mengutip ayat-ayat dari Kitab Suci Alkitab, yang isinya seolah-olah menyuruh umat untuk pergi ke Yerusalem. Untuk melakukan hal itu, mereka mendekati orang-orang penting dan berpengaruh di Gereja, seperti pendeta, pengkhotbah terkenal serta artis-artis terkenal. Dari nama-nama yang diiklankan sebagai pemimpin rombongan, nampaknya, pihak travel cukup berhasil mendekati berbagai pihak, bahkan pemimpin2 tertinggi organisasi Gereja, termasuk dari Bimas Kristen Protestan. Dengan demikian, tidak heran jika cukup banyak orang pergi setiap bulannya mengikuti HTL tsb.
.
Salah satu kewajiban dari saudara/i kita, penganut agama Islam (rukun ke lima) adalah, ‘’Naik haji ke Mekah jika sanggup keuangannya”. Dengan kenyataan tsb di atas, barangkali, ada di antara jemaat yang bertanya, “Apakah gerakan atau kegiatan business rohani yang melibatkan pendeta, artis dan petinggi Gereja tsb di atas merupakan sebuah kewajiban sebagaimana dilakukan oleh saudara/i kita yang Muslim?” Menurut pengamatan penulis, disadari atau tidak, secara perlahan namun pasti ada kecenderungan yang mengarah ke sana. Seorang pendeta yang mengaku telah puluhan kali memimpin rombongan ke Yerusalem bahkan dengan sangat berani memberikan satu pernyataan yang cukup mengejutkan. Rupanya, untuk meyakinkan pendengarnya akan pentingnya mengikuti HLT, orang tersebut mengatakan: “ Sebelum saudara/i mengunjungi Yerusalem, yang merupakan tanah suci dan tanah perjanjian tsb, maka iman saudara masih bersifat teoritis. Anda membaca Alkitab masih belum hidup, dalam bentuk peta, belum mengetahui kondisi dan keindahannya yang sebenarnya”.
.
Bagaimana sesungguhnya?
.
Pernyataan seperti di atas, sedikit banyak telah membingungkan jemaat juga. Karena itu, berbagai pertanyaan berkenaan dengan kunjungan ke Yerusalem ditanyakan oleh anggota jemaat. Bagaimana sesungguhnya? Untuk menjawab pertanyaan tsb, maka sebaiknya kita ‘berkonsultasi’ dengan Tuhan Yesus.
.
Injil Yohanes mengisahkan satu percakapan yang menarik antara Tuhan Yesus dengan seorang perempuan Samaria (Yoh.4). Mengamati percakapan tersebut, terlihat satu percakapan religious yang mencerminkan kebanggaan yang dimiliki, baik oleh orang Samaria maupun oleh orang-orang Yahudi. Orang-orang Samaria sudah lama membanggakan tempat ibadah mereka yang berada di gunung Gerizim. Sedangkan orang-orang Yahudi, sangat membanggakan kota Yerusalem. Kebanggaan tersebut tidak lepas dari sejarah atau pengalaman dan pemahaman teologia dengan tempat-tempat tersebut. Sebagai contoh, ke mana pun orang-orang Yahudi merantau, mereka sangat rindu ke kampung halaman mereka di Yerusalem, di mana di sana ada bait Allah yang dibangun dengan sangat megah. Kerinduan tersebut tercermin dalam kitab-kitab Mazmur (Maz.84). Demikian juga, kelihatannya, kebanggaan itulah yang dinyatakan perempuan Samaria tsb kepada Tuhan Yesus: “Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini...” (Yoh.4:20).
.
Mendengar pernyataan tsb, menarik sekali menyimak penegasan Tuhan Yesus kepada perempuan tsb. Tuhan Yesus menegaskan satu hal yang saya yakin telah mengecewakan perempuan Samaria tsb, juga orang-orang Yahudi pada umumnya. Mengapa? Ternyata, Tuhan Yesus tidak memilih keduanya, baik gunung Gerizim maupun Yerusalem (Yoh. 4:21). Sebaliknya, Dia menegaskan satu hal yang sangat penting: “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembahNya, harus menyembahNya dalam roh dan kebenaran” (ayat 24). Dengan perkataan lain, dalam hal badah kepada Allah, Tuhan Yesus tidak mengikat anggota jemaat kepada satu tempat tertentu, termasuk tempat yang dianggap suci atau sakral oleh nenek moyang. Satu hal yang sangat penting, di mana pun beribadah dan menyembah Allah, hal itu harus dilakukan dengan benar, dengan segala kesungguhan, yaitu di dalam pimpinan Roh Kudus.
.
Jika demikian, cukup jelas bahwa Alkitab tidak memberikan suatu perintah yang mewajibkan umat untuk pergi ke Yerusalem. Dengan menegaskan kebenaran Alkitab tsb, saya harap saya tidak disalahmengerti, seolah-olah saya anti dengan kunjungan ke Yerusalem, anti dengan program HLT. Ada yang berkata: “Apa salahnya melakukan wisata rohani jika memang mampu?”
.
Memang tidak ada salahnya, asalkan perjalanan tsb tidak disertai dengan penipuan secara halus, khususnya kepada jemaat yang masih lemah imannya dan polos. Misal, dengan menjanjikan: “Diberkati ulang pernikahan Anda di kota Kana; dibaptis ulang di sungai Yordan” dan sejenisnya. Sebaliknya, perjalanan ke kota-kota yang bersejarah di dalam Alkitab tsb dapat bermanfaat, jika dipersiapkan dan dilaksanakan dengan segala kejujuran dan kesungguhan hati.
.
Akhir kata, meski tidak salah, untuk apa melakukannya sampai berkali-kali, bahkan puluhan kali sebagaimana disebutkan di atas? Saya kira, pendeta dan pemimpin perlu membimbing anggota jemaat dalam hal skala prioritas. Bagaimana dengan wisata rohani di tempat-tempat bersejarah di Indonesia, misalnya Salib Kasih di Tarutung? Selain membangkitkan kecintaan kepada tanah air dengan segala kekayaan budayanya, pada saat yang sama, kunjungan tersebut akan bermanfaat dan membangun kehidupan masyarakat di sana. Dengan demikian, melalui kunjungan wisata tsb, kita telah turut membangun desa-desa tertinggal di seluruh persada Nusantara. Soli Deo gloria.-
.
Sumber : Harian Sinar harapan
oleh Pdt. Mangapul Sagala, DTh
www.mangapulsagala.com

Hamoraon dan Teologi Kemakmuran

ADA ANGGAPAN bahwa orang Batak cenderung materialistis atau menjadikan materi sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan. Sebagaimana dikatakan dalam syair lagu ciptaan komponis Nahum Situmorang, selain hagabeon (memiliki banyak turunan) dan hasangapon (sangat dihormati), hamoraon (memiliki banyak harta) adalah cita-cita, falsafah atau orientasi hidup masyarakat Batak.
.
1. HAMORAON DALAM PANDANGAN TRADISIONAL BATAK
.
Mungkin kita dapat setuju bahwa pada dasarnya memang orang Batak sangat menjunjung tinggi kekayaan (hamoraon). Kekayaan dipandang sebagai kebajikan sementara kemiskinan dianggap sebagai nasib malang. Kaya (mamora) berarti memiliki banyak harta (godang arta). Pada jaman dahulu harta terdiri dari: sawah, ternak, rumah dan emas. Begitu banyak perumpamaan yang memuji nilai kekayaan ini:
.
Simbora gukguk, sai mamora ma hita luhut! Tangkas ma jabu suhat tangkasan ma jabu bona.
.
Tangkas ma hita maduma tangkasan ma hita mamora. Tubu dingin-dingin di tonga-tonga ni huta. Saur ma hita madingin tumangkas hita mamora.
.
Tonggi ma sibahut tabo ma pora-pora. Gabe ma hita huhut jala sude hita mamora.
.
Tubu ma tandiang di topi aek sibara-bara. Sai gok ma jolma di ginjang , gok ma pinahan di taumbara.
.
Tinaba hau sampinur di tombak simarhora-hora. Sai lam matorop ma hamu maribur lam marsangap jala mamora.
.
Andor ras andor ris andor ni simamora. Sai horas ma hita jala torhis sai rap gabe jala mamora.
.
Banyak tindakan kebajikan dilakukan orang Batak bukan semata-mata demi kebajikan itu sendiri namun dengan tujuan agar memperoleh kekayaan. Misalnya penghormatan kepada hula-hula dilakukan juga dalam rangka mendapatkan berkat kekayaan. Demikian pula pengormatan kepada orangtua yang telah meninggal dunia.
.
Nidurung situma laos dapot pora-pora. Molo buas iba tu hula-hula na pogos hian iba gabe mamora.
.
Dolok ni Lumban Julu hatubuan ni simarhora-hora. Nunga dipanangkok hamu saring-saring ni angka ompunta i ba sai gabe ma hamu jala mamora.
.
Kultur Batak pra-Kristen memang tidak terlalu mempersolkan sumber atau asal-usul kekayaan. Kekayaan bisa diperoleh karena kerja keras, warisan, menang berjudi, jarahan perang, tebusan gadai, “tangko raja” (pencurian yang luhur?) dan lain-lain. Molo malo iba na tinangko gabe na jumpang, molo oto iba na jumpang gabe na tinangko!
.
Namun kultur Batak juga menuntut sikap khusus dari orang kaya, yaitu kemurahan hati (marasi roha) atau kedermawanan. Orang kaya sejati digambarkan sebagai orang yang tikarnya tidak pernah digulung (karena selalu menerima tamu), bakul nasinya besar, dan talenan-nya tipis atau ringan karena selalu dipergunakan. Paramak so balunon, parsangkalan na neang, parbahul-bahul na bolon.
.
Begitu pentingnya kekayaan (hamoraaon) ini, bahkan menjadi tujuan hidup sehingga demi memperoleh kekayaan, banyak orang Batak-Kristen mengabaikan prosedur atau cara memperolehnya, atau cenderung menghalalkan segala cara. Orang kaya mendapat tempat terhormat, juga di kampung milik hula-hulanya. Sebagaimana disiratkan dalam umpama berikut: Ai hotang rasras do hotang singgoran bahen pangarahut ni ruma. Dos do raja dohot na mora marorot di bagasan huta. Semangat merantau atau meninggalkan Tanah Batak ke ke daerah-daerah lain juga sebagian besar juga merupakan cita-cita untuk kaya. Kemajuan diidentikkan dengan kekayaan. Kekayaan merupakan satu-satunya tanda sukses di perantauan.
.
Dalam kultur Batak pra-Kristen hamoraon (kekayaan) bukan saja menentukan status sosial seseorang namun dianggap sebagai suatu salah satu tanda yang absolut bahwa seseorang mendapat berkat. Karena itu kemiskinan dianggap sebagai bencana atau kutuk. Itulah juga yang menyebabkan kultur Batak pra-Kristen menganggap kekayaan begitu penting dan mulia, sebab itu sering diupayakan dengan segala cara.
.
Nilai hamoraon ini mempengaruhi peran sosial dan perilaku orang Batak sehari-hari. Banyaknya pemuda Batak yang memilih jurusan studi yang “basah” (cepat menghasilkan uang berlimpah) dan sedikitnya yang memilih jurusan studi yang “kering” (sulit menghasilkan uang berlimpah) haruslah dilihat dalam kerangka filsafat hidup ini. Begitu pula jenis-jenis profesi yang sangat diminati orang Batak (hukum, ekonomi, teknik) sebagian harus dilihat dalam konteks “keinginan menjadi kaya” (mamora). Satu hal yang sangat memprihatinkan orang Batak, karena ingin cepat kaya dan dapat untung, juga sangat banyak yang berprofesi sebagai rentenir, pedagang VCD porno, penjual togel.
.
2. HAMORAON DALAM PERSPEKTIF MODEREN
.
Komunitas Batak sekarang hidup dalam era moderen. Agar dapat survive di tengah masyarakat moderen maka komunitas Batak juga harus mengakomodir nilai-nilai modern termasuk tentang kekayaan. Bagaimana pandangan modernitas tentang nilai kekayaan?
.
Bagi masyarakat moderen dan demokratis, kekayaan diterima sebagai ganjaran yang wajar dan semestinya dari kerja keras, ketekunan, prestasi, kinerja dan talenta (bakat khusus) yang dikembangkan. Namun masyarakat moderen menolak kekayaan yang diperoleh dengan cara melawan hukum (korupsi, kolusi).
.
Kita harus menolak pemahaman yang memisahkan kekayaan dari hukum, moralitas dan hati nurani. Kekayaan dianggap baik dan mulia karena diperoleh dan digunakan berdasar kepada hukum dan moralitas serta mengindahkan hati nurani. Sebaiknya kekayaan yang diperoleh atau digunakan tidak berdasar hukum, moralitas dan hati nurani harus dianggap rendah dan memalukan.
.
Namun dalam masyarakat moderen kekayaan mesti diimbangi juga dengan ketaatan membayar pajak dan kedermawanan (semangat filantropi). Semain kaya seseorang ia harus makin jujur dan taat membayar pajak dan memberikan bantuan sosial. Itulah sebabnya di luar negeri orang-orang kaya menggunakan kekayaannya mendirikan yayasan sosial guna membagi-bagikan kekayaan itu kepada masyarakat (baca: sama sekali bukan untuk mendapatkan keuntungan!).
.
Selanjutnya bagi masyarakat moderen bentuk kekayaan bukan lagi hanya sawah, ternak atau emas, namun meluas. Pengetahuan, informasi, jaringan, bakat dan keahlian khusus, dan bahkan kesehatan juga dianggap sebagai asset atau kekayaan, bahkan yang terpenting.
.
3. HAMORAON DALAM PERSPEKTIF KRISTEN
.
Ada 4(empat) pertanyaan yang senantiasa harus diajukan sehubungan dengan kekayaan:
.
(1) Asal-usul. Dari manakah kekayaan itu berasal atau bersumber? Kekristenan menolak kekayaan yang diperoleh dengan cara korupsi atau mencuri. Hukum ke-8 berbunyi “Jangan mencuri!”. (baca: Jangan korupsi!). Bagi kekristenan bukan hanya tujuan menjadi kaya yang penting, tetapi terutama bagaimana cara menjadi kaya. Cara yang benar menjadikan tujuan benar. Cara yang salah membuat tujuan jadi salah.
.
(2) Pengelolaan. Bagaimana kita mengelola kekayaan itu? Kekayaan di tangan orang jahat akan cenderung digunakan untuk melakukan kejahatan. Sebaliknya di tangan orang baik, kekayaan akan digunakan untuk melakukan kebaikan juga. Hanya orang yang menjadi hamba Tuhanlah yang dapat menjadikan kekayaan sebagai hamba atau alat kebenaran dan kasih. Sebaliknya: orang yang menjadi hamba dosa, akan tidak dapat merajai kekayaannya namun malah menjadikan kekayaan sebagai majikan atau tuannya. Karena itulah Alkitab mengatakan “cinta uang akar segala kejahatan” (I Tim 6:10)
.
(3) Dampak. Apakah dampak kekayaan itu kepada orang yang bersangkutan? Ada kekayaan yang berdampak baik namun ada juga yang berakibat buruk. Sebagian orang setelah kaya semakin mendekat kepada Tuhan, namun sebagian lagi justru menjadi menjauh. Memang kekristenan menolak kekayaan dijadikan ukuran atau parameter menilai kemanusiaan seseorang. Kaya-miskin pada hakikatnya kemanusiaan seseorang sama di hadapan Tuhan. Begitu juga Tuhan menghendaki perubahan pemilikan harta atau kaya-miskin tidak mempengaruhi hubungan kita dengan Tuhan dan dengan juga orang yang kita cintai-mencintai kita.
.
Adalah wajar dan sah jika kita ingin hidup sejahtera dan berkecukupan. Tuhan juga menjanjikan hidup berkelimpahan kepada orang percaya (Yoh 10:10, Maz 23:5-6, II Kor 9:8). Namun kita dipesan agar kita melakukan kebajikan dan kasih demi kebajikan dan kasih itu sendiri, bukan karena pamrih.
.
(4) Tujuan atau motivasi. Apakah tujuan seseorang meraih kekayaan? Alkitab menolak kekayaan sebagai tujuan akhir (ultimate goal) dalam hidup. Tujuan akhir dalam hidup adalah memuliakan Tuhan dan mengasihi sesama. Kekayaan tidak abadi, sebab itu tidak dapat dijadikan tujuan pertama dan terakhir dalam hidup ini. Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaranNya maka semua itu akan ditambahkan kepadamu (Mat 6:34). Langit bumi akan berlalu namun Firman Allah tetap (I Pet 1:24-25). Namun uang itu dapat digunakan untuk berbuat kebajikan di dunia ini (Luk 16:1-9). Bahkan Alkitab menjadikan uang sebagai alat untuk menguji kesetiaan iman. Barangsiapa dapat dipercaya soal uang, dapat dipercaya juga soal iman. (Luk 16:10). Sebaliknya siapa korup soal uang akan korup juga soal iman!
.
Kekristenan memahami kekayaan (yang diperoleh secara benar) sebagai berkat Tuhan sekaligus sebagai godaan. Kekayaan tidak otomatis sebagai berkat. Sama seperti kemiskinan dibalik kekayaan juga ada godaan dan resiko. (Amsal 30:1-7)
.
Kritik kita kepada “teologi kemakmuran” adalah karena menjadikan kekayaan sebagai satu-satunya tanda atau bukti utama berkat Tuhan. Itu artinya: semua orang kaya otomatis orang yang diberkati oleh Tuhan. (walaupun kaya karena mencuri, korupsi dan kolusi) Sebaliknya semua orang miskin pastilah tidak diberkati oleh Tuhan (walaupun miskin karena jujur, adil dan benar). Padahal Tuhan justru memberkati orang jujur, adil dan benar (walaupun struktur dan sistem politik-ekonomi yang tidak adil sering menjadikan mereka miskin.
.
Sumber :
Pdt. Daniel TA Harahap, MA
Home: http://rumametmet.com

Darah Batak dan Jiwa Protestan

1. INJIL DATANG KE TANAH (JIWA BATAK)
.
BERABAD-ABAD suku bangsa Batak hidup terisolasi di Tanah Batak daerah bergunung-gunung di pedalaman Sumatera Bagian Utara. Pada waktu yang ditentukanNya sendiri, Allah mengirim hamba-hambaNya yaitu para missionaries dari Eropah untuk memperkenalkan INJIL kepada kakek-nenek (ompung) dan ayah-ibu kita yang beragama dan berbudaya Batak itu. Mereka pun menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruslamat. Mereka tidak lagi bergantung kepada dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang yang mati tetapi beriman kepada Allah Tritunggal (Bapa, Anak dan Roh Kudus) yang hidup. Mereka berpindah dari gelap kepada terang, dari keterbelakangan kepada kemajuan, dan terutama dari kematian kepada kehidupan yang kekal. Injil telah datang
dan merasuk ke Tanah (baca: jiwa) Batak!
.
2. MENERIMA INJIL DAN TETAP BATAK
.
Namun penerimaan kepada Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Juruslamat tidaklah membuat warna kulit kakek-nenek kita berubah dari “sawo matang” menjadi “putih” (bule), atau mengubah rambut mereka yang hitam menjadi pirang. Mereka tetap petani padi dan bukan gandum, memakan nasi dan bukan roti, hidup di sekitar danau Toba dan bukan di tepi sungai Rhein. Penerimaan Kristus itu juga tidak mengubah status kebangsaan mereka dari “Batak” menjadi “Jerman”. Sewaktu menerima Injil dan dibabtis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus kakek-nenek dan ayah-ibu kita tetaplah tinggal Batak dan hidup sebagai masyarakat agraris Sumatera dengan segala dinamika dan pergumulannya. Para missionaries itu juga tidak berusaha mencabut kakek-nenek dan ayah-ibu kita yang Kristen itu dari kebatakannya dan kehidupan sehari-harinya. Bahkan mereka bersusah-payah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak agar kakek-nenek kita dapat mengerti dan menghayati Firman Tuhan itu dengan baik sekali. Selanjutnya melatih mereka memuji dan berdoa kepada Kristus yang baru mereka kenal itu juga dengan bahasa Batak (baca: bukan Inggris atau Yahudi).
.
3. INJIL DAN KOMUNITAS BATAK MODEREN
.
Injil itu kini juga sampai kepada kita sekarang. Sebagaimana kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu kita sekarang pun menerima dan mengakui Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Juruslamat, Anak Allah yang hidup. Melalui iman kepada Kristus itulah kita menerima hidup baru yang kekal, pengampunan, berkat, damai sejahtera Allah dan Roh Kudus. (Yoh 3:16). Sama seperti kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu, kita yang sekarang pun mengalami bahwa babtisan dan kekristenan tidaklah mengubah warna kulit kita dari sawo matang menjadi putih. Juga tidak mengubah kita dari Batak-Indonesia menjadi Eropah-Amerika. Sebagai pengikut Kristus rupanya kita tidak harus menjadi orang yang berbahasa dan berbudaya lain. Tidak ada bahasa dan budaya atau status social tertentu yang mutlak menjamin kita lebih dekat kepada Kristus. (Gal 3:28) Tidak ada juga bahasa yang menghalangi kita datang kepadaNya.
.
4. FIRMAN MENJADI MANUSIA
.
Firman telah menjadi manusia sama dengan kita dan tinggal di antara kita (Yoh1:14). Itu artinya Itu dapat diartikan bahwa Firman itu juga telah menjadi manusia Batak dan hidup diantara kita orang yang berjiwa dan berkultur Batak juga. Sebab itu tidak ada keragu-raguan kita untuk menyapa, memuji dan berdoa kepada Allah dengan bahasa, idiom, terminologi, simbol, ritme, corak dan seluruh ekspressi kultur Batak (termasuk Indonesia dan modernitas) kita Mengapa? Sebab Tuhan Yesus Kristus lebih dulu datang menyapa kita dengan bahasa Batak yang sangat kita pahami dan hayati.
.
5. DAHULU DAN SEKARANG
.
Bagaimanakah kita menyikapi tortor, gondang dan ulos Batak sebagai orang Kristen? Memang harus diakui bahwa pada awalnya – jaman dahulu – tortor dan gondang adalah merupakan ritus atau upacara keagamaan tradisional Batak yang belum mengenal kekristenan. Harus kita akui dengan jujur bahwa leluhur kita yang belum Kristen menggunakan seni tari dan musik tortor dan gondang itu untuk menyembah dewa-dewanya dan roh-roh, selain membangun kebersamaan dan komunalitas mereka. Disinilah kita sebagai orang Kristen (sekaligus Batak-Indonesia) harus bersikap bijaksana, jujur, dan hati-hati serta kreatif. Kita komunitas Kristen Batak sekarang mau menerima seni tari dan musik Tortor dan Gondang Batak warisan leluhur pra kekristenan itu namun dengan memberinya makna atau arti yang baru. Tortor dan gondang tidak lagi sebagai sarana pemujaan dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang tetapi sebagai sarana mengungkapkan syukur dan sukacita kepada Allah Bapa yang menciptakan langit dan bumi, Tuhan Yesus Kristus yang menyelamatkan kita dari dosa, dan Roh Kudus yang membaharui hidup dan mendirikan gereja. Bentuknya mungkin masih sama namun isinya baru. Ini mirip dengan apa yang dilakukan gereja purba dengan tradisi pohon natal. Pada awalnya pohon terang itu adalah tradisi bangsa-bangsa Eropah yang belum mengenal Kristus namun kemudian diberi isi yang baru, yaitu perayaan
kelahiran Kristus. Begitu juga dengan tradisi telur Paskah, Santa Claus dll.
.
6. MENGACU KEPADA ALKITAB
.
Dalam Alkitab kita juga pernah menemukan problematika yang sama. Di gereja Korintus pernah ada perdebatan yang sangat tajam apakah daging-daging sapi yang dijual di pasar (sebelumnya dipersembahkan di kuil-kuil) boleh dimakan oleh orang Kristen. Sebagian orang Kristen mengatakan “boleh” namun sebagian lagi mengatakan “tidak”. Rasul Paulus memberi nasihat yang sangat bijak. “Makanan tidak mendekatkan atau menjauhkan kita dari Tuhan. Makan atau tidak makan sama saja.” (I Kor 8:1-11). Keadaan yang mirip juga terjadi di gereja Roma: apakah orang Kristen boleh memakan segalanya. (I Kor 14-15). Rasul Paulus memberi nasihat “Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (I Kor 14:17). Kita boleh menarik analogI dari ayat-ayat ini untuk persoalan tortor dan gondang dan juga ulos. Benar bahwa tortor dan gondang dahulu dipakai untuk penyembahan berhala, namun sekarang kita pakai untuk memuliakan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus.. Selanjutnya: kita sadar bahwa kekristenan bukanlah soal makanan, minuman, jenis tekstil atau musik, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus.
.
Nasi sangsang atau roti selai tidak ada bedanya di hadapan Tuhan. Tenunan ulos Batak dengan batik Jawa atau brokart Prancis sama saja nilainya di hadapan Kristus. Taganing atau orgel adalah sama-sama alat yang tidak bernyawa dan netral. keduanya dapat dipakai memuliakan Allah (atau sebaliknya bisa juga untuk menghinaNya).
.
7. MENGGARAMI DAN MENERANGI BUDAYA
.
Persoalan sesungguhnya adalah: bagaimana sesungguhnya hubungan antara iman Kristen dan budaya. Dalam Matius 5:13-16 Tuhan Yesus menyuruh orang Kristen untuk menggarami dan menerangi dunia. Itu artinya Tuhan Yesus menyuruh kita mempengaruhi, mewarnai, merasuki, memperbaiki realitas sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada.
.
Itu artinya sebagai orang Kristen kita dipanggil bukan untuk menjauhkan diri atau memusuhi budaya (tortor, gondang dan ulos) namun untuk menggarami dan meneranginya dengan firman Tuhan, kasih dan kebenaranNya. Bukan membakar ulos tetapi memberinya makna baru yang kristiani. Namun sebaliknya kita juga diingatkan agar tidak terhisab atau tunduk begitu saja kepada tuntutan budaya itu! Agar dapat menggarami dan menerangi budaya (tortor, gondang dan ulos dll) kita tidak dapat bersikap ekstrim: baik menolak atau menerima secara absolut dan total. Kita sadar sebagai orang Kristen bahwa kita hanya tunduk secara absolute kepada Kristus dan bukan kepada budaya Sebaliknya kita juga sadar bahwa sebagai orang Kristen (di dunia) kita tidak dapat mengasingkan diri dari budaya. Lantas bagaimana? Disinilah pentingnya membangun sikap kreatif dan kritis dalam menilai hubungan iman Kristen dan budaya Batak itu, termasuk tortor dan gondang serta ulos. Mana yang baik dan mana yang buruk? Mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus diubah? Mana yang relevan dengan kekristenan, Indonesia dan modernitas dan mana yang tidak lagi relevan?
.
8. TORTOR DAN GONDANG KRISTIANI
.
Kita akui jujur sebelum datangnya kekristenan tortor dan gondang adalah sarana untuk meminta kesuburan (sawah, ternak, dan manusia), menolak bala dan atau menghormati dewa-dewa dan roh nenek moyang. Bagi kita orang Kristen tortor dan gondang bukanlah sarana membujuk Tuhan Allah agar menurunkan berkatNya, namun salah satu cara kita mengekspressikan atau menyatakan syukur dan sukacita kita kepada Allah Bapa yang kita kenal dalam Yesus Kristus dan membangun persekutuan sesama kita. Selanjutnya sebelum datangnya kekristenan gondang dianggap sebagai reflektor atau yang memantulkan permintaan warga kepada dewa-dewa. Bagi kita yang beriman Kristen gondang itu hanyalah alat musik belaka dan para pemainnya hanyalah manusia fana ciptaan Allah. Kita dapat menyampaikan syukur dan atau permohonan kita kepada Allah Bapa tanpa perantara atau reflektor kecuali Tuhan Yesus Kristus. Dahulu bagi nenek moyang kita sebelum kekristenan, tortor dan gondang, sangat terikat kepada aturan-aturan pra-kristen yang membelenggu: misalnya wanita yang tidak dikaruniai anak tidak boleh manortor dengan membuka tangan. Bagi kita yang beriman Kristen sekarang, tentu saja semua orang boleh bersyukur dan bersukacita di hadapan Tuhannya termasuk orang yang belum atau tidak menikah, belum atau tidak memiliki anak, belum atau tidak memiliki anak laki-laki. Semua manusia berharga di mata Tuhan dan telah ditebusNya dengan darah Kristus yang suci dan tak bernoda (I Pet 1:19).
.
Sumber :
Pdt. Daniel TA Harahap
http://rumametmet.com

Dalihan Na Tolu

DALIHAN NA TOLU (TUNGKU TIGA BATU)
.
DALIHAN NA TOLU pada dasarnya berarti tungku (tataring) yang terbuat dari tiga buah batu yang disusun. Tiga buah batu itu mutlak diperlukan menopang agar belanga atau periuk tidak terguling. Selanjutnya di kemudian hari istilah dalihan na tolu ini dipergunakan untuk menunjuk kepada hubungan kekerabatan yang diakibatkan oleh pernikahan, yaitu dongan tubu (pihak kawan semarga), hula-hula (pihak “pemberi perempuan”) dan boru (pihak “penerima perempuan”). Sebab itu dalihan na tolu adalah konstruksi sosial yang diciptakan oleh suatu masyarakat dan budaya Batak. Dalihan na tolu bukanlah wahyu atau sesuatu yang alami dan terjadi dengan sendirinya. Dalihan na tolu adalah produk budaya Batak.
.
1. BERKEMBANG DALAM SEJARAH
.
Jika kita melihat secara kritis kultur Batak termasuk dalihan na tolu sebenarnya bukan sesuatu yang statis atau beku tetapi juga mengalami pergeseran dan perkembangan dalam sejarah. Sebagai contoh penghormatan terhadap hula-hula justru semakin kuat dengan datangnya kekristenan. Mengapa? Sebab sulit kita membayangkan bahwa nenek moyang kita dapat memberi penghormatan yang sama tingginya kepada tiap hula-hula jika dia memiliki istri lebih dari satu. Lebih sulit lagi membayangkan nenek-moyang kita dapat menghormati hula-hula dari selir (rading) atau istri yang diperolehnya secara paksa dari peperangan atau bekas hambanya. Namun dengan masuknya kekristenan yang membuat pernikahan orang Batak menjadi monogami dan permanen (abadi) maka dampaknya penghormatan terhadap hula-hula juga semakin kuat. Semakin baik pernikahan maka penghormatan kepada hula-hula juga semakin baik.
.
Contoh lain menunjukkan pergeseran dalihan na tolu: Pada jaman dahulu tidak semua even pertemuan Batak dihadiri oleh tulang atau hula-hula (kecuali pesta besar). Hal ini dapat dimaklumi karena hula-hula atau tulang tinggal di kampung yang lain yang jauh (kecuali bagi sonduk hela, orang yang menetap di kampung hula-hulanya). Namun keadaan ini berubah dengan migrasi orang Batak ke luar Tapanuli. Kampung dan kota di luar Tapanuli bersifat majemuk (multi marga, multi suku). Banyak orang kini tinggal sekampung atau bahkan bertetangga dengan hula-hula atau tulang-nya. Apakah
dampaknya? Interaksi antara hula-hula dan boru semakin intensif. Jika ada acara di rumah banyak orang jadi sungkan jika tidak mengundang tulang atau hula-hula yang kebetulan menjadi tetangga atau tinggal sekota dengannya.
.
Pada jaman dahulu ketika nenek moyang kita masih menetap di Tanah Batak kampung identik dengan marga. Artinya “dongan sahuta” hampir identik dengan “dongan tubu”. Namun dengan migrasi orang Batak ke Sumatera Timur dan kota-kota lain keadaan berubah. Dongan sahuta tidak lagi otomatis dongan tubu (kawan semarga). Dampak perubahan demografi ini peranan dongan sahuta (parsahutaon) yang terdiri dari multi marga ini semakin besar di kota-kota. Jonok dongan partubu jumonok dongan parhundul.
.
2. MANAT MARDONGAN TUBU, ELEK MARBORU, SOMBA MARHULA-HULA
.
Jika kita perhatikan kampung-kampung tradisional di Tapanuli dihuni oleh orang-orang yang semarga. Dongan tubu karena itu adalah teman untuk mengerjakan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu kita harus memperlakukan dongan tubu secara hati-hati (manat). Kehati-hatian pada dasarnya adalah bentuk lain dari sikap hormat. Nasihat ini relevan sebab justru kehati-hatian sering kali hilang karena merasa terlalu dekat atau akrab. Hau na jonok do na masiososan. Selanjutnya Elek marboru merupakan nasihat bahwa boru harus senantiasa dielek atau dianju (dibujuk). Boru adalah penopang dan penyokong. Sebab itu mereka senantiasa diperlakukan dengan ramah-tamah dan lemah-lembut agar mereka tidak sakit hati dan kemudian membiarkan hula-hula-nya. Namun sebaliknya: Bagi orang Batak pra-Kristen hula-hula memang dipandang sebagai mata ni ari bisnar, sumber berkat dan kesejahteraan, sebab itu harus disembah (somba marhula-hula).
.
Lantas bagaimana dengan kita orang Kristen? Prinsip-prinsip dalihan na tolu ini dapat terus kita pertahankan sebagai kontsruksi budaya yang positif. Namun makna somba marhula-hula harus kita beri warna baru. Sebab bahasa Batak tidak membedakan istilah hormat dan sembah. Sementara sebagai orang Kristen kita mengakui bahwa Tuhanlah sumber berkat satu-satunya. Hula-hula atau mertua hanyalah salah satu (baca: bukan satu-satunya) saluran atau distributor berkat yang dipakai Tuhan.
.
Selanjutnya sebagai orang Kristen dan moderen, kita juga harus memperkaya prinsip dalihan na tolu ini dengan semangat egalitarian (kesetaraan). Pada dasarnya tiap-tiap orang, tanpa kecuali, harus kita hormati. Tiap-tiap orang (apapun suku, ras, profesi, pendidikan, jenis kelamin, agama dan tingkat ekonominya) pantas mendapat hormat. Kita wajib menghormati hula-hula, melindungi boru dan memperlakukan hati-hati dongan tubu kita tanpa memandang latar belakang ekonominya, pendidikan, pangkat atau jabatannya.
.
3. SIRKULASI PERAN DAN JABATAN
.
Inti atau substansi kultur dalihan na tolu adalah sirkulasi dan distribusi peran dan jabatan. Dalam kultur Batak setiap orang tidak mungkin terus-menerus dihormati sebagai hula-hula. Hari ini menjadi boru, esok menjadi dongan tubu, lusa menjadi hula-hula. Hari ini duduk dilayani besok melayani. Tidak ada orang yang mutlak selama-lamanya (dondon pate) dihormati. Tidak ada juga orang yang selama-lamanya berada di bawah melayani!
.
Masyarakat Batak sangat sadar akan arti ruang atau tempat dan even. Peran dan kedudukan seseorang sangat dinamis sebab tergantung ruang dan even (ulaon). Sirkulasi peran dan jabatan ini merupakan kontribusi masyarakat Batak bagi gereja dan masyarakat. Bahwa semua orang harus bergantian melayani dan dilayani, menghormati dan dihormati. Tidak ada yang terus-menerus boleh menjadi kepala atau pemimpin.
.
Ini sangat relevan dengan dunia modernitas. Kepemimpinan moderen tergantung kepada even dan ruang dan waktu. Tidak ada orang yang boleh mengklaim menjadi pemimpin di setiap even, di semua ruang dan sepanjang waktu. Ini juga relevan dengan iman Kristen yang memandang semua manusia setara di hadapan Tuhan (Gal 3:28) dan harus diperlakukan dengan hormat dan kasih (Roma 12:10, II Pet 1:7, Yoh 13:14, 34)
.
4.HUKUM BERBALASAN POSITIF
.
Selanjutnya dalihan na tolu merupakan perwujudan prinsip hukum berbalasan. Sisoli-soli do uhum siadapari do gogo. Saling berbalas adalah hukum dan saling berganti merupakan kekuatan. Boru memberikan juhut (daging) dan hula-hula menyambut dan memberikan boras dohot dengke (beras dan ikan). Boru memberikan piso-piso (uang) dan hula-hula merespons dengan memberi doa memohon berkat. Hula-hula memberikan ulos dan boru membalas dengan uang.
.
Prinsip berbalasan positif (sisoli-soli) ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kesejahteraan bersama. Beban dan keuntungan dibagi dan dipikul bersama. Hula-hula, dongan tubu dan boru harus sama-sama bersukacita dan beruntung. Tidak boleh ada pihak yang ingin menang dan nikmat sendiri!
.
Namun prinsip dalihan na tolu tetap harus dimurnikan senantiasa dengan KASIH AGAPE atau kasih tanpa mengharapkan balasan yang diajarkan Yesus. Yesus memang tidak pernah melarang kita membalas yang baik (seluruh ayat Alkitab hanya melarang membalas yang jahat), namun Dia menghendaki agar kita belajar juga mengasihi dan memberi tanpa mengharapkan balasan (pamrih).
.
5. KESETARAAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI
.
Tuhan Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan sebagai citra Allah (Kej 1:27). Laki-laki dan perempuan sama dan setara di hadapanNya (Gal 3:28). Kekristenan mengajarkan bahwa perempuan bukanlah manusia kelas dua atau bagian laki-laki. Perempuan juga bukan properti milik laki-laki yang dapat dijadikan objek transaksi atau perjanjian jual-beli. Sebab itu komunitas Kristen-Batak juga harus menempatkan dalihan na tolu dalam konteks kesetaraan (hadosan) dan keadilan (hatigoran) laki-laki dan perempuan.
.
Pada jaman dahulu hula-hula dianggap sebagai pemberi perempuan. Namun di jaman modern perempuan yang bebas dan otonom karena itu tidak boleh dijadikan objek apalagi “diserah-terimakan”. Perempuan adalah subjek atau pribadi. Pernikahan karena itu kini dianggap perjanjian dua pihak yang setara. Akibatnya secara tak langsung makna hula-hula pun bergeser bukan lagi sebagai “marga pemberi perempuan” namun “marga asal perempuan”.
.
Sinamot atau tuhor (uang mahar pernikahan( karena itu bukanlah keuntungan yang diperoleh dari transaksi perempuan tetapi harus diartikan sebagai biaya (cost) yang diperlukan untuk menciptakan sukacita bersama.
.
6. GEREJA MENCEGAH CHAOS
.
Gereja HKBP memiliki anggota yang mayoritas Batak (minimal sampai saat ini). Anggota HKBP karena itu juga dalam hidupnya menghayati dalihan na tolu. Salah satu prinsip dalihan na tolu adalah melarang pernikahan yang semarga. Gereja HKBP menerima prinsip melarang pernikahan semarga ini agar tidak terjadi chaos atau kekacauan di masyarakat. Sebagaimana dikatakan Rasul Paulus agar semuanya berlangsung secara teratur (I Kor 14:40) dan rapih tersusun (Ef 4:16)
.
7. DEPOLITISASI DAN DOMESTIKASI ADAT
.
Dahulu yang disebut adat Batak adalah segala sesuatu konsep, nilai, ide, hasil karya dan kegiatan orang Batak (menanam padi, membangun rumah, membuka kampung baru, berperang, mengikat perjanjian antar marga dll). Dalam perkembangan terakhir makna adat telah mengalami proses depolitisasi dan domestikasi. Kini adat Batak direduksi atau diminimalisasi menjadi sekedar ritus domestik (rumah tangga): ritus pernikahan, kelahiran dan kematian. Apa akibatnya? Peranan dalihan na tolu menjadi sangat dominan atau menonjol walaupun pada prakteknya kurang berpengaruh kepada kehidupan ekonomi dan politik komunitas Kristen-Batak itu sendiri. Sebab itu tantangan bagi kita sekarang adalah mencari dan menemukan hakikat atau esensi adat Batak itu sendiri agar tidak larut dan hanyut dalam ritus atau seremoni konsumtif belaka.
.
Sumber :
( Pdt. Daniel T.A. Harahap)
Home: http://rumametmet.com

Ulos

1. HASIL PERADABAN
.
Ulos (lembar kain tenunan khas tradisional Batak) pada hakikatnya adalah hasil peradaban masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu. Menurut catatan beberapa ahli ulos (baca: tekstil) sudah dikenal masyarakat Batak pada abad ke-14 sejalan dengan masuknya alat tenun tangan dari India. Hal itu dapat diartikan sebelum masuknya alat tenun ke Tanah Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (tekstil). Itu artinya belum juga ada budaya memberi-menerima ulos (mangulosi). Kenapa? Karena nenek-moyang orang Batak masih mengenakan cawat kulit kayu atau tangki. Pertanyaan: lantas apakah yang diberikan hula-hula kepada boru pada jaman sebelum masyarakat Batak mengenal alat tenun dan tekstil tersebut?
.
Pertanyaan itu hendak menyadarkan komunitas Kristen-Batak untuk menempatkan ulos pada proporsinya. Ulos pada hakikatnya adalah hasil sebuah tingkat peradaban dalam suatu kurun sejarah. Ulos pada awalnya adalah pakaian sehari-hari masyarakat Batak sebelum datangnya pengaruh Barat. Perempuan Batak yang belum menikah melilitkannya di atas dada sedangkan perempuan yang sudah menikah dan punya anak atau laki-laki cukup melilitkannya di bawah dada (buha baju). Ulos juga dipakai untuk mendukung anak (parompa), selendang (sampe-sampe) dan selimut (ulos) di malam hari atau di saat kedinginan.
.
Dalam perkembangan sejarah nenek-moyang orang Batak mengangkat kostum atau tekstil (pakaian) sehari-hari ini menjadi simbol dan medium pemberian hula-hula kepada boru (pihak yang lebih dihormat kepada pihak yang lebih menghormat).
.
2. MAKNA AWAL
.
Secara spesifik pada masa pra-kekeristenan ulos atau tekstil sehari-hari itu dijadikan medium (perantara) pemberian berkat (pasu-pasu) dari mertua kepada menantu/
anak perempuan, kakek/nenek kepada cucu, paman (tulang) kepada bere, raja kepada rakyat. Sambil menyampaikan ulos pihak yang dihormati ini menyampaikan kata-kata berupa berkat (umpasa) dan pesan (tona) untuk menghangatkan jiwa si penerima. Ulos sebagai simbol kehangatan ini bermakna sangat kuat, mengingat kondisi Tanah Batak yang dingin. Dua lagi simbol kehangatan adalah: matahari dan api.
.
Bagi nenek-moyang Batak yang pra-Kristen selain ulos itu an sich yang memang penting, juga kata-kata (berkat atau pesan) yang ingin disampaikan melalui medium ulos itu. Kita juga mencatat secara kreatif nenek-moyang Batak juga menciptakan istilah ulos na so ra buruk (ulos yang tidak bisa lapuk), yaitu tanah atau sawah. Pada keadaan tertentu hula-hula dapat juga memberi sebidang tanah atau ulos yang tidak dapat lapuk itu kepada borunya. Selain itu juga dikenal istilah ulos na tinonun sadari (ulos yang ditenun dalam sehari) yaitu uang yang fungsinya dianggap sama dengan ulos.
.
Ulos yang panjangnya bisa mencapai kurang lebih 2 meter dengan lebar 70 cm (biasanya disambung agar dapat dipergunakan untuk melilit tubuh) ditenun dengan tangan. Waktu menenunnya bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung tingkat kerumitan motif. Biasanya para perempuan menenun ulos itu di bawah kolong rumah. Sebagaimana kebiasaan jaman dahulu mungkin saja para penenun pra-Kristen memiliki ketentuan khusus menenun yang terkait dengan kepercayaan lama mereka. Itu tidak mengherankan kita, sebab bukan cuma menenun yang terkait dengan agama asli Batak, namun seluruh even atau kegiatan hidup Batak pada jaman itu. (Yaitu: membangun rumah, membuat perahu, menanam padi, berdagang, memungut rotan, atau mengambil nira). Mengapa? Karena memang mereka pada waktu itu belum mengenal Kristus! Sesudah nenek moyang kita mengenal Kristus, mereka tentu melakukan segala aktivitas itu sesuai dengan iman Kristennya, termasuk menenun ulos!
.
3. PERGESERAN MAKNA ULOS
.
Masuknya Injil melalui para misionaris Jerman penjajahan Belanda harus diakui sedikit-banyak juga membawa pergeseran terhadap makna ulos. Nenek-moyang Batak mulai mencontoh berkostum seperti orang Eropah yaitu laki-laki berkemeja dan bercelana panjang dan perempuan Batak (walau lebih lambat) mulai mengenal gaun dan rok meniru
pola berpakaian Barat. Ulos pun secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan sebagai kostum atau pakaian sehari-hari kecuali pada even-even tertentu. Ketika pengaruh Barat semakin merasuk ke dalam kehidupan Batak, penggunaan ulos sebagai pakaian sehari-hari semakin jarang. Apa akibatnya? Makna ulos sebagai kostum sehari-hari (pakaian) berkurang namun konsekuensinya ulos (karena jarang dipakai) jadi malah dianggap “keramat”. Karena lebih banyak disimpan ketimbang dipergunakan, maka ulos pun mendapat bumbu “magis” atau “keramat”. Sebagian orang pun mulai curiga kepada ulos sementara sebagian lagi menganggapnya benar-benar bertuah.
.
4. ULOS DAN KEKRISTENAN
.
Bolehkah orang Kristen menggunakan ulos? Bolehkah gereja menggunakan jenis kostum atau tekstil yang ditemukan masyarakat Batak pra-Kristen? Jawabannya sama dengan jawaban Rasul Paulus kepada jemaat Korintus: bolehkah kita menyantap daging yang dijual di pasar namun sudah dipersembahkan di kuil-kuil (atau jaman sekarang disembelih dengan doa dan kiblat agama tertentu)? Jawaban Rasul Paulus sangat tegas: boleh. Sebab makanan atau jenis pakaian tidak membuat kita semakin dekat atau jauh dari Kristus (II Korintus 8:1-11). Pertanyaan yang sama diajukan oleh orang Yahudi-Kristen di gereja Roma: bolehkah orang Kristen makan babi dan atau bercampur darah hewan dan semua jenis binatang yang diharamkan oleh kitab Imamat di Perjanjian Lama? Jawaban Rasul Paulus: boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus (Roma 14:17). Analoginya sama: bolehkah kita orang Kristen memakai ulos? Jawabnya : boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal kostum, jenis tekstil atau mode tertentu, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.
.
Sebagaimana telah dikatakan di atas, pada masa lalu ulos adalah medium (pengantara) pemberian berkat hula-hula kepada boru. Pada masa sekarang, bagi kita komunitas Kristen-Batak ulos bukan lagi medium, tetapi sekedar sebagai simbol atau tanda doa (permohonan berkat Tuhan) dan kasih hula-hula kepada boru. Dengan atau tanpa memberi ulos, hula-hula dapat berdoa kepada Allah dan Tuhan Yesus Kristus memohon berkat untuk borunya. Ulos adalah simbol doa dan kasih hula-hula kepada boru. Kedudukannya sama dengan simbol-simbol lainnya: bunga, cincin, sapu tangan, tongkat dll.
.
5. NILAI ULOS BAGI KITA ORANG KRISTEN MODEREN
.
Sebab itu bagi kita komunitas Kristen-Batak moderen ulos warisan leluhur itu tetap bernilai atau berharga minimal karena 4 (empat) hal:
.
Pertama: siapa yang memberikannya. Ulos itu berharga karena orang yang memberikannya sangat kita hargai atau hormati. Ulos itu adalah pemberian mertua atau tulang atau hula-hula kita. Apapun yang diberikan oleh orang-orang yang sangat kita hormati dan menyayangi kita - ulos atau bukan ulos - tentu saja sangat berharga bagi kita.
.
Kedua: kapan diberikan. Ulos itu berharga karena waktu, even atau momen pemberiannya sangat penting bagi kita. Ulos itu mengingatkan kita kepada saat-saat khusus dalam hidup kita saat ulos itu diberikan: kelahiran, pernikahan, memasuki rumah dll. Apapun pemberian tanda yang mengingatkan kita kepada saat-saat khusus itu – ulos atau bukan ulos - tentu saja berharga bagi kita.
.
Ketiga: apa yang diberikan. Ulos itu berharga karena tenunannya memang sangat khas dan indah. Ulos yang ditenun tangan tentu saja sangat berharga atau bernilai tinggi karena kita tahu itu lahir melalui proses pengerjaan yang sangat sulit dan memerlukan ketekunan dan ketrampilan khusus. Namun tidak bisa dipungkiri sekarang banyak sekali beredar ulos hasil mesin yang mutu tenunannya sangat rendah.
.
Keempat: pesan yang ada dibalik pemberian ulos. Selanjutnya ulos itu berharga karena
dibalik pemberiannya ada pesan penting yang ingin disampaikan yaitu doa dan nasihat. Ketika orangtua atau mertua kita, atau paman atau ompung kita, menyampaikan ulos itu dia menyampaikan suatu doa, amanat dan nasihat yang tentu saja akan kita ingat saat kita mengenakan atau memandang ulos pemberiannya itu.
.
Disini kita tentu saja harus jujur dan kritis. Bagaimana mungkin kita menghargai ulos yang kita terima dari orang yang tidak kita kenal, pada waktu sembarangan secara masal, dengan kualitas tenunan asal-asalan? Tidak mungkin. Sebab itu komunitas Batak masa kini harus serius menolak trend atau kecenderungan sebagian orang “mengobral ulos”: memberi atau menerima ulos secara gampang. Ulos justru kehilangan makna karena terlalu gampang memberi atau menerimanya dan atau terlalu banyak. Bagaimana kita bisa menghargai ulos sebanyak tiga karung?
.
6. SIAPA MEMBERI - SIAPA MENERIMA?
.
Dalam Batak ulos adalah simbol pemberian dari pihak yang dianggap lebih tinggi kepada pihak yang dianggap lebih rendah. Namun keadaan kadang membingungkan. Ulos diberikan juga justru kepada orang yang dianggap pemimpin atau sangat dihormati. Dalam kultur Batak padahal ulos tidak pernah datang dari “bawah”. Lantas mengapa kita kadang memberi ulos kepada pejabat yang justru kita junjung, atau kepada pemimpin gereja yang sangat kita hormati? Bukankah merekalah yang seharusnya memberi ulos (mangulosi)? Kebiasaan memberi ulos kepada Kepala Negara atau Eforus (pimpinan gereja) selain mereduksi makna ulos juga sebenarnya merendahkan posisi kepala negara dan pemimpin gereja itu.
.
7. HANYA SALAH SATU CIRI KHAS
.
Ulos memang salah satu ciri khas Batak. Namun bukan satu-satunya ciri kebatakan. Bahkan sebenarnya ciri khas Batak yang terutama bukanlah ulos (kostum, tekstil),
tetapi bius dan horja, demokrasi, parjambaran, kongsi dagang, dan dalihan na tolu. Posisi ulos menjadi sentral dan terlalu penting justru setelah budaya Batak mengalami reduksi yaitu diminimalisasi sekedar ritus atau seremoni pernikahan yang sangat konsumtif dan eksibisionis. Hanya dalam rituslah kostum atau tekstil menjadi dominan. Dalam aksi sosial atau perjuangan keadilan politik, ekonomi, sosial dan budaya kostum nomor dua. Inilah tantangan utama kita: mengembangkan wacana atau diskursus kebatakan kita yang lebih substantif atau signifikan bagi kemajuan masyarakat dan bukan sekadar meributkan asesori atau kostum belaka.
.
8. ULOS DITERIMA DENGAN CATATAN
.
Ekstrim pertama: Sebagian orang Kristen-Batak menolak ulosnya karena dianggap sumber kegelapan. Padahal darah Tuhan Yesus yang tercurah di Golgota telah menebus dan menguduskan tubuh dan jiwa serta kultur Batak kita. Ulos artinya telah boleh dipergunakan untuk memuliakan Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus.
.
Ekstrim yang lain: Sebagian orang Kristen-Batak mengeramatkan ulosnya. Mereka menganggap ulos itu keramat, tidak boleh dijual, tidak boleh dipakai. Mereka lupa bahwa Kristus-lah satu-satunya yang berkuasa dan boleh disembah, bukan warisan nenek moyang termasuk ulos.
.
Sikap kristiani: Tantangan bagi kita komunitas Kristen-Batak sekarang adalah menempatkan ulos pada proporsinya: kostum atau tekstil khas Batak. Tidak lebih tidak kurang. Bukan sakral dan bukan najis. Jangan ditolak dan jangan dikeramatkan! Jangan dibuang dan jangan cuma disimpan!
.
Sumber :
(Pdt Daniel.T.A.Harahap)
http://rumametmet.com

Sejarah Valentine's Day



Dari namanya saja, perayaan Hari Kasih Sayang ini serasa memiliki perpaduan sebuah tradisi yang bernuansa Kristiani dan Roma kuno. Ada beberapa versi mengenai legenda dari sosok Valentine ini.Dahulu, seorang pemimpin agama Katolik bernama Valentine bersama rekannya Santo Marius secara diam-diam menentang pemerintahan Kaisar Claudius II kala itu. Pasalnya, kaisar tersebut menganggap bahwa seorang pemuda yang belum berkeluarga akan lebih baik performanya ketika berperang. Ia melarang para pemuda untuk menikah demi menciptakan prajurit perang yang potensial. Nah, Valentine tidak setuju dengan peraturan tersebut. Ia secara diam-diam tetap menikahkan setiap pasangan muda yang berniat untuk mengikat janji dalam sebuah perkawinan. Hal ini dilakukannya secara rahasia. Lambat laun, aksi yang dilakukan oleh Valentine pun tercium oleh Claudius II. Valentine harus menanggung perbuatannya. Ia dijatuhi hukuman mati.


Ada sebuah sumber yang menceritakan bahwa ia mati karena menolong orang-orang Kristen melarikan diri dari penjara akibat penganiayaan. Dalam legenda ini, Valentine didapati jatuh hati kepada anak gadis seorang sipir, penjaga penjara. Gadis yang dikasihinya senantiasa setia untuk menjenguk Valentine di penjara kala itu. Tragisnya, sebelum ajal tiba bagi Valentine, ia meninggalkan pesan dalam sebuah surat untuknya. Ada tiga buah kata yang tertulis sebagai tanda tangannya di akhir surat dan menjadi populer hingga saat ini—-‘From Your Valentine.’ Ekspresi dari perwujudan cinta Valentine terhadap gadis yag dicintainya itu masih terus digunakan oleh orang-orang masa kini. Akhirnya, sekitar 200 tahun sesudah itu, Paus Gelasius meresmikan tanggal 14 Febuari tahun 496 sesudah Masehi sebagai hari untuk memperingati Santo Valentine.


Versi lain tentang Valentine dimulai pada zaman Roma kuno tanggal 14 Febuari. Ini merupakan hari raya untuk memperingati Dewi Juno. Ia merupakan ratu dari segala dewa dan dewi kepercayaan bangsa Roma. Orang Romawi pun mengakui kalau dewi ini merupakan dewi bagi kaum perempuan dan perkawinan. Dan sehari setelahnya yaitu tanggal 15 Februari merupakan perayaan Lupercalia. Kala itu, anak-anak lelaki dan perempuan harus dipisahkan satu sama lain. Namun, pada malam sebelum Lupercalia, nama-nama anak perempuan Romawi yang sudah ditulis di atas kertas dimasukkan ke dalam botol. Nah, setiap anak lelaki akan menarik sebuah kertas. Dan anak perempuan yang namanya tertulis di atas kertas itulah yang akan menjadi pasangannya selama festival Lupercalia berlangsung keesokan harinya. Kadang-kadang, kebersamaan tersebut bertahan hingga lama. Akhirnya, pasagan tersebut saling jatuh cinta dan menikah di kemudian hari.

Sumber : Sinar Harapan 14 Februari 2007 (SH/sally piri)

Rabu, 23 Januari 2008

Penerimaan Calon Pelayan HKBP

PENGUMUMAN
No. 08/L12/I/2007
PENERIMAAN CALON PELAYAN HKBP
...

Dengan ini diumumkan kepadapara lulusan STT- HKBP, STT lain yang diakui HKBP, Sekolah Guru Huria HKBP, Sekolan Bibelvrouw HKBP, dan Pendidikan Diakones HKBP akan mengadakan seleksi penerimaan Calon Pelayan HKBP ( Calon Pendeta, Calon Guru Huria, Calon Bibelvrouw dan Calon Diakones) dengan ketentuan sebagai berikut:
.
I. SYARAT
.
1. Indeks Prestasi kumulatif (IPK) 2,50.
2. Umur maksimal 40 tahun pada saat ujian.
.
Bagi mereka yang memenuhi persyaratan tersebut diminta datang ke Biro Personalia HKBP untuk mengisi Fomulir pendaftaran dengan membawa surat permohonan yang ditulis sendiri diatas kertas segel terbaru dengan melampirkan:
.
1. Daftar riwayat hidup.
2. Surat pernyataan tunduk kepada Aturan & Peraturan HKBP.
3. Surat pernyataan bersedia ditempatkan di seluruh wilayah pelayanan HKBP. di atas kertas bermeterai).
4. Fotocopi Ijazah dari SD sampai terakhir (rangkap 2).
5. Fotocopi Transkrip nilai dari lembaga pendidikan Teologi yang bersangkutan (Rangkap 2).
6. Surat Parhuriaon terbaru.
7. Surat keterangan berkelakuan baik dari lembaga pendidikan teologi yang bersangkutan.
8. Pasfoto ukuran 3x4 sebanyak tiga lembar.
9. Foto seluruh badan, ukuran Poscard satu lembar. 10. Surat permohonan beserta seluruh lampiran tersebut harap dimasukkan dalam satu berkas. .
Pendaftarandimulai tgl. 11 Januari s/d 1 Februari 2008, selama jam kerja dan diserahkan kepada:
.
Kepala Biro Personalia
Kantor Pusat HKBP
Pearaja Tarutung 22413
.
Keterangan: Bagi mereka yang sudah pernah memasukkan berkas syarat permohonan, diminta untuk memperbaharui kelengkapan surat-suratnya.
.
II. UJIAN
.
Mereka yang memenuhi syarat akan undang untuk mengikuti Test Penerimaan Calon Pelayan (Ujian tulisan & Wawancara), pada tanggal 4- 6 Februari 2008. Materi ujian meliputi:
.
1. Pengetahuan Isi Alkitab.
2. Pengenalan Tentang HKBP.
.
Pearaja Tarutung,13 Desember 2007.
Teriring Salam Dan Doa
HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN
A.n Pimpinan
Sekretaris Jenderal
dto
Pdt. W. T. P. Simarmata, MA.
.
Tembusan:
1. Ompui Ephorus HKBP Sebagai Laporan.
2. Kepala Departemen Koinonia HKBP.
3. Kepala Departemen Marturia HKBP.
4. Kepala Departemen Diakonia HKBP.
5. Kepala Biro Personalia HKBP.
6. Bendahara Umum HKBP.
7. Pertinggal.-

Selasa, 22 Januari 2008

Gondang Naposo, Jakarta, Januari 2007

Gelanggang Remaja Rawamangun,
Jakarta Timur
Sabtu, 26 Januari 2008


Banyaknya tradisi-tradisi budaya batak
toba yang sudah jarang dilakukan,
salah satu budaya itu adalah tradisi
Gondang Naposo. Dulu, Gondang Naposo
adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh
para pemuda-pemudi Batak Toba, karena
dalam acara ini, mereka dapat
berkenalan dengan para pemuda pemudi
dari kampong-kampung yang lain. Bahkan
di acara Gondang Naposo inilah mereka
menemukan pasangannya.

Acara Gondang Naposo ini dilakukan
pada saat-saat seperti apabila seorang
pemuda/I yang akan melepas masa
lajang, sebagai ucapan syukur atas
suatu kampong menghasilkan panen yang
baik, dan apabila saat terang bulan.

Dalam acara Gondang Naposo ini mereka
melakukan kegiatan Menari (Manortor);
Martumba, Berbalas Pantun (Umpama),
Bernyanyi (Marende), Bermain Musik
(Gondang Hasapi), Drama Mini (Opera),
dan lain-lain. Kesempatan inilah yang
digunakan oleh pemuda-pemudi untuk
mempertunjukkan kebolehannya, sehingga
menarik perhatian pemuda-pemudi
lainnya.

Sebagai salah satu upaya melestarikan
budaya Batak Toba, Dewan Kesenian
Jakarta mengadakan Seri Pertunjukan
Musik Tradisi “Gondang Naposo” pada
awal tahun 2008, tepatnya pada Sabtu,
26 Januari 2008, pukul 18.00, di
Gelanggang Olahraga Remaja Rawamangun,
Jakarta Timur. Dalam acara ini,
masyarakat Jakarta tidak hanya
mengenal dan “mengingat” kembali
bagaimana meriahnya Gondang Naposo,
tapi juga belajar bagaimana cara
Menari (Manortor), Martumba, Meminta
Gondang, Berbalas Pantun, Menganal
alat musik tradisi Gondang Sabangunan,
Gondang Hasapi; dan memperkenalkan
cerita rakyat. Dari sini, diharapkan
akan tumbuh rasa cinta dan kebanggaan
terhadap tradisi, dan kecontaan akan
Bona Pasogit (Kampung Halaman).
Google Search Engine
Google
·

Guestbook of HKBP

·
·


Visitor Map